Monday, October 1, 2012

Pangeran yang Bahagia*


 Di atas kota, sebuah patung Pangeran yang Bahagia berdiri di sebuah tiang yang tinggi. Seluruh tubuhnya dilapisi lembaran-lembaran emas murni. Kedua matanya adalah dua biji batu safir yang cemerlang. Sebiji batu rubi berkilau dari pangkal pedangnya.

Tentu saja ia amat dikagumi. "Ia secantik gada-gada," ujar salah seorang Konselor Kota yang berharap mendapatkan reputasi sebagai orang berselera artistik. "Hanya saja, ia tidak begitu berguna," tambahnya, takut-takut jika hanya sedikit yang menganggap patung itu tidak berguna (dan hal itu memang benar).

"Kenapa kau tidak bisa seperti Pangeran yang Bahagia?" tanya seorang ibu yang bijak kepada anaknya yang menangis karena meminta bulan. "Sang Pangeran tidak akan pernah menangis."

"Aku lega ada seseorang di dunia ini yang berbahagia," komat-kamit seorang pria yang kecewa ketika ia memandang patung yang menakjubkan itu.

"Ia seperti malaikat," kata Anak-Anak Karitas yang berjubah merah terang dan berpinafor putih bersih ketika mereka keluar katedral.

"Kok bisa tahu?" tanya Ahli Matematika, "kalian kan tidak pernah melihat malaikat sebelumnya."

"Pernah! Di dalam mimpi," jawab anak-anak; dan Ahli Matematika mengerutkan dahi; agak bengis ia karena tidak mempercayai mimpi bocah-bocah itu.

Suatu malam, terbanglah seekor burung layang-layang kecil di atas kota. Teman-temannya telah pergi ke Mesir enam minggu sebelumnya. Ia ketinggalan karena jatuh cinta kepada Buluh (alang-alang) yang paling cantik di dunia. Si Layang-Layang bertemu dengannya di awal musim semi ketika ia sedang terbang rendah di sungai mengejar seekor ngengat kuning. Ia tertarik dengan pinggangnya yang ramping sehingga ia berhenti untuk mengobrol dengannya.

"Bolehkah aku mencintaimu?" tanya Layang-Layang langsung ke tujuan. Buluh itu menunduk rendah, sehingga Layang-Layang terbang mengitarinya, menyentuh air dengan sayapnya, dan membuat riak-riak perak. Inilah tanda pertalian mereka dan hubungan tersebut berjalan selama musim panas.

"Sungguh suatu hubungan yang edan,"cericit para burung layang-layang lain; "si cewek tidak berduit dan punya saudara terlalu banyak"; Dan memang sungai itu ditumbuhi buluh di sana-sini. Lalu, ketika musim gugur datang, burung-burung itu terbang pergi.

Setelah mereka pergi, Layang-Layang itu merasa kesepian. Ia juga mulai bosan dengan kekasihnya. "Cewekku tidak pernah mengobrol," katanya, "jangan-jangan ia cewek ular, karena ia selalu bergenit-genitan dengan angin." Pastinya, kapanpun angin berhembus, Buluh selalu membungkukkan diri dengan lemah-gemulai. "Aku mengakui bahwa ia cewek domestik," lanjutnya, "tetapi aku suka bepergian, dan oleh karena itu, istriku seharusnya suka bepergian pula."

"Maukah kau ikut denganku?" Akhirnya Layang-Layang itu berkata kepada kekasihnya, tetapi Buluh menggeleng, karena ia amat terikat dengan rumahnya.

"Kau membuang-buang waktuku," teriaknya. "Aku berangkat ke Piramida. Selamat tinggal!" Ia pun terbang pergi.

Sehari penuh ia telah terbang dan malam harinya ia tiba di kota. "Di mana sebaiknya aku menginap?" katanya; "Kuharap di kota ini tempatnya telah tersedia."

Ia lalu melihat patung yang berdiri di atas tiang itu.

"Aku akan menginap di situ," katanya, "di sini bagus dengan udara segar yang berlimpah." Maka, ia hinggap di antara kedua kaki Pangeran yang Bahagia.

"Aku punya kamar tidur emas," bisiknya kepada dirinya sendiri sewaktu ia melihat sekelilingnya dan ia bersiap-siap tidur; tetapi, ketika ia sedang meletakkan kepalanya di bawah sayapnya, sebuah tetesan besar jatuh di tubuhnya. "Apa sih ini?" tanyanya; "padahal tidak ada segumpal awan pun di langit, bintang-bintang terlihat jelas dan terang, dan tidak hujan pula. Iklim Eropa bagian utara benar-benar buruk. Buluh biasanya suka hujan, tetapi itu cuma keegoisannya saja."

Tetes berikutnya jatuh.

"Apa gunanya patung ini jika tidak bisa menaungiku dari hujan?" gerutunya; "Sepertinya lebih baik aku menginap di cerobong saja," dan ia pun bergegas-gegas terbang kembali.

Akan tetapi, sebelum ia mengembangkan sayapnya, tetes ketiga jatuh dan ia melihat ke atas. Ia melihat—Ah! Apa yang ia lihat?

Mata si Pangeran dibasahi air mata yang mengalir melalui kedua belah pipi emasnya. Wajahnya amat rupawan diterangi cahaya bulan sehingga si Layang-Layang kecil dipenuhi rasa kasihan.

"Kamu siapa?" tanyanya.

"Aku Pangeran yang Bahagia."

"Lalu, kenapa kau menangis?" tanya Layang-Layang; "kau membuatku basah kuyup."

"Ketika aku masih hidup dan punya hati manusia," jawab si patung, "Aku tidak tahu apa itu air mata. Aku tinggal di Istana Sans-Souci dan di tempat itu duka tidak diperbolehkan ada di dalamnya. Di siang hari aku bermain dengan teman-temanku di taman dan di sore hari aku memimpin dansa di Aula Agung. Di sekeliling taman itu berdiri tembok yang tinggi, tetapi aku tidak pernah peduli untuk mengetahui apa yang ada di baliknya. Semuanya tentangku sangatlah indah. Semua residen memanggilku si Pangeran yang Bahagia, dan aku memang berbahagia, jika semua kesenangan itu memang membahagiakan. Jadi, aku hidup dan aku kemudian meninggal. Ketika aku mati, mereka mendirikanku di atas sini sehingga aku dapat melihat keburukan dan kesengsaraan di kotaku ini, dan karena hatiku terbuat dari timah, aku tidak bisa memilih untuk tidak bersedih.

"Dia tidak sepenuhnya tersepuh emas?"gumam Layang-Layang sendiri. Ia terlalu sopan untuk menggumamkan kesannya tersebut dengan lantang.

"Nun jauh di sana," lanjut si patung dengan nada yang rendah. "Nun jauh di sana, di sebuah gang, ada sebuah rumah yang reot. Salah satu jendelanya terbuka dan aku bisa melihat seorang wanita terduduk di meja. Mukanya kurus dan lesu. Ia punya tangan yang kasar dan memerah, tertusuk-tusuk jarum karena ia seorang penjahit wanita. Ia sedang menyulam bunga krisnakamala di atas sebuah gaun satin milik dayang yang paling cantik, untuk dipakai di pesta dansa. Di atas dipan di sudut ruangan, bocah lelakinya terbaring sakit. Ia demam dan mengigau meminta-minta buah jeruk. Ibunya tidak punya apa-apa untuk diberikan kepada anaknya, kecuali air sungai saja, maka si bocah menangis sejadi-jadinya. Layang-Layang yang mungil, maukah kau mencopot batu rubi di pedangku dan membawakannya untuk ibu itu? Kakiku tertancap kokoh di tumpuan ini, sehingga aku tidak bisa pergi."

"Aku ingin pergi menuju Mesir," kata si burung, "teman-temanku pasti sedang terbang tinggi rendah di atas Sungai Nil sembari mengobrol dengan teratai raksasa. Nanti mereka akan tidur di makam raja agung. Sang raja sendiri terbaring di situ, di dalam petinya yang dicat warna-warni. Ia terbungkus kain linen kuning dan dibalsem dengan rempah-rempah. Di lehernya terlingkar serantai giok yang hijau pucat dan tangannya seperti daun-daun yang layu."

"Layang-Layang yang mungil," kata Pangeran, "tidakkah kau ingin tinggal bersamaku semalam saja dan menjadi utusanku? Bocah itu kehausan dan ibunya sangat sedih."

"Kupikir aku tidak suka bocah," jawab Layang-Layang. "Musim panas yang lalu, ketika aku sedang tinggal di dekat sungai, ada dua orang bocah yang bengal. Merekalah anak-anak si penggiling gandum. Mereka sering sekali melempariku dengan bebatuan. Tentu saja lemparan mereka tidak pernah kena; kami, burung layang-layang, penerbang yang ahli, lagipula aku datang dari keluarga yang terkenal akan kegesitannya; tetapi tetap saja, itu merupakan tanda-tanda ketidakhormatan."

Akan tetapi, Pangeran yang Bahagia terlihat begitu sedih sehingga Layang-Layang merasa menyesal. "Begitu dingin di sini," katanya; "tetapi sepertinya aku akan tinggal untuk semalam dan menjadi utusanmu."

"Terima kasih, Layang-Layang kecil," kata Pangeran.

Maka, Layang-Layang mengambil batu rubi dari pedang si Pangeran dan terbang dengan batu tersebut di paruhnya, melewati atap-atap kota.

Ia melewati menara katedral, tempat berdirinya patung-patung malaikat dari pualam putih. Ia melewati istana dan mendengar irama dansa. Seorang gadis yang cantik keluar ke atas balkon dengan kekasihnya. "Betapa indahnya bintang-bintang," kata sang lelaki kepada gadis itu, "dan betapa menakjubkannya kekuatan cinta!"

"Kuharap gaunku akan siap pada waktunya untuk aula negara," jawab gadis itu; "aku telah menyuruh seseorang untuk menyulamkan bunga krisnakamala di atasnya; tetapi penjahit wanita itu terlalu malas."

Ia terbang melewati sungai dan melihat lentera-lentera yang tergantung di tiang-tiang kapal. Ia melewati getto dan melihat Yahudi-Yahudi tua saling menawar harga dan menimbang-nimbang uang di timbangan tembaga. Akhirnya ia sampai di rumah reot itu dan ia pun melihat ke dalam. Si anak berguling ke kanan-kiri di atas dipan karena demam dan ibunya jatuh tertidur saking letihnya. Ia meloncat ke dalam dan meletakkan biji rubi itu di atas meja, di samping bidal milik si ibu. Lalu, ia terbang dengan lembut di sekeliling dipan, mengipasi jidat si bocah dengan sayapnya. "Betapa sejuknya!" kata si bocah, "Aku pasti sudah agak baikan"; dan si bocah pun tertidur pulas.

Lalu Layang-Layang terbang kembali ke Pangeran yang Bahagia. Ia menceritakan apa yang telah ia lakukan. "Mengherankan," ucapnya, "Aku merasa hangat, walaupun aku tahu udara amat dingin."

"Itu karena kau melakukan sesuatu yang baik," kata Pangeran. Layang-Layang kecil mulai berpikir dan kemudian ia ketiduran. Berpikir selalu membuatnya mengantuk.

Ketika fajar tiba, ia terbang ke sungai dan mandi. "Sungguh sebuah kejadian yang luar biasa!" kata Profesor Ornitologi sewaktu ia sedang lewat jembatan. "Layang-layang di musim dingin!" Ia pun menulis artikel yang panjang mengenai hal tersebut untuk koran lokal. Semua orang mengingatnya. Artikel itu penuh dengan banyak sekali kata yang tidak dapat dimengerti oleh para pembaca.

"Malam ini aku berangkat ke Mesir," kata Layang-Layang dengan penuh semangat. Ia mengunjungi monumen-monumen dan bertengger lama di pucuk menara gereja. Kemana pun ia pergi, Pipit-Pipit berceloteh dan berkata satu sama lain, "Sungguh burung asing yang terhormat!" Layang-Layang benar-benar menikmati saat itu.

Ketika bulan naik, ia terbang kembali ke Pangeran yang Bahagia. "Kau punya salam untuk Mesir?" katanya; "Aku akan berangkat."

"Layang-Layang yang mungil," kata Pangeran, "tidakkah kau ingin tinggal bersamaku untuk satu malam lagi?"

"Aku ditunggu di Mesir," jawab Layang-Layang. "Besok teman-temanku akan terbang di atas katarak kedua**. Kuda-kuda sungai*** berbaring di situ di antara rumput-rumput sungai dan di tahta granit duduklah Dewa Memnon****. Semalam suntuk Dia mengawasi bintang-bintang dan ketika bintang fajar bersinar, Dia mengeluarkan raungan kebahagiaan dan kemudian diam. Di siang hari, singa-singa kuning datang ke tepi air untuk minum. Mereka punya mata serupa batu beril hijau dan auman mereka lebih keras daripada gemuruh katarak."

"Layang-Layang yang mungil," kata Pangeran, "nun jauh di sana, di sudut kota, aku melihat seorang pemuda di dalam sebuah loteng. Ia sedang bersandar di sebuah meja yang di atasnya bertumpuk kertas-kertas, dan di sampingnya bunga-bunga violet yang layu berserakan. Rambutnya coklat dan kering. Bibirnya semerah buah delima dan ia punya mata yang besar lagi bening. Ia sedang berusaha untuk menyelesaikan naskah untuk si Sutradara Teater, tetapi hari ini terlalu dingin untuk menulis. Tidak ada api di lotengnya dan rasa lapar telah membuatnya tidak sadarkan diri."

"Aku akan menunggu untuk satu malam lagi," kata Layang-Layang yang berhati mulia itu. "Baikkah jika aku membawa batu rubi yang lain?"

"Duh! Aku tidak punya batu rubi lagi," kata Pangeran; "mataku adalah sesuatu yang tersisa. Mataku terbuat dari safir langka yang dibawa dari India ribuan tahun yang lalu. Copot salah satu dan bawalah kepadanya. Ia akan menjualnya kepada tukang perhiasan dan membeli kayu bakar, kemudian menyelesaikan pekerjaannya."

Maka Layang-Layang pun mencopot satu mata Pangeran dan terbang ke loteng si pemuda. Cukup mudah untuk masuk ke dalamnya karena ada lubang di atapnya. Lewat situ ia meluncur seperti anak panah dan tiba di sebuah ruangan. Kepala pemuda itu tertelungkup, terkubur di kedua tangannya, sehingga ia tidak mendengar kepakan sayap burung. Ketika ia terbangun ia menemukan batu safir yang indah di atas bunga-bunga yang layu.

"Aku merasa dihargai," tukasnya; "ini pasti dari pengagumku yang terhebat. Sekarang aku bisa menyelesaikan naskahnya," dan ia terlihat bahagia.

Esoknya, Layang-Layang menukik ke pelabuhan. Ia hinggap di tiang sebuah kapal dan menonton para pelaut mengangkat kotak-kotak besar dari tumpuannya dengan tali. "Kuntul baris!" teriak mereka satu sama lain ketika setiap kotak diangkat. "Aku akan berangkat ke Mesir!" teriak Layang-Layang, tetapi tiada yang peduli. Ketika bulan muncul, ia terbang kembali ke Pangeran yang Bahagia.

"Aku datang untuk mengucap selamat tinggal," katanya.

"Layang-Layang yang mungil," kata Pangeran, "tidakkah kau ingin tinggal bersamaku untuk satu malam lagi?"

"Ini sudah musim dingin," jawab Layang-Layang, "salju sebentar lagi pasti turun. Di Mesir, matahari sedang bersinar hangat di atas pohon-pohon kurma dan buaya-buaya sedang berbaring malas di dalam lumpur. Teman-temanku sedang membuat sarang di Kuil Balbek*****, sementara merpati-merpati putih dan merah muda sedang menonton mereka dan bertekukur satu sama lain. Wahai, Pangeran yang Baik, aku harus meninggalkanmu, tetapi aku tidak akan melupakanmu. Aku pasti akan kembali musim semi mendatang dengan membawa batu-batu mulia untuk mengganti batu-batu yang telah kau berikan kepada orang-orang itu. Batu rubi yang kubawa akan lebih merah daripada mawar dan safirnya akan lebih biru daripada samudra."

"Di lapangan di bawah sana," kata Pangeran yang Bahagia, "berdirilah seorang gadis penjual korek api. Ia membiarkan korek-koreknya berjatuhan di selokan karena koreknya basah. Ayahnya pasti akan memukulnya bila ia pulang tidak membawa uang. Sekarang ia menangis. Ia tidak bersepatu ataupun memakai kaus kaki, dan tangan kecilnya telanjang. Copot mataku satu lagi dan berikan kepadanya. Ayahnya tidak akan memukulinya."

"Aku akan tinggal untuk satu malam lagi," kata Layang-Layang, "tetapi aku tidak bisa mencopot matamu. Kau akan jadi buta."

"Layang-Layang yang mungil," kata Pangeran, "lakukanlah apa yang kukatakan."

Maka si burung kecil mencopot sebuah mata Pangeran dan terbang meluncur seperti anak panah. Ia menukik melewati gadis penjual korek api dan melepaskan batu mulia itu ke telapak tangan si gadis. "Sungguh sebuah kaca yang indah!" kata si gadis; lalu ia berlari pulang, tertawa.

Kemudian Layang-Layang datang kembali ke Pangeran. "Kau buta sekarang. Karena itu aku akan terus bersamamu."

"Tidak, Layang-Layang mungil," kata pangeran malang itu, "kau harus pergi ke Mesir."

"Aku akan selalu di sampingmu," kata Layang-Layang dan ia pun tidur di kaki sang Pangeran.

Esoknya, ia seharian bertengger di bahu Pangeran dan bercerita tentang hal-hal yang telah ia lihat di negeri-negeri asing. Ia bercerita tentang burung-burung ibis merah yang berdiri di sepanjang Sungai Nil dan menangkap ikan dengan paruh mereka; tentang Spinks yang umurnya setua dunianya, tinggal di padang pasir, dan tahu segala hal; tentang kafilah-kafilah yang berjalan perlahan di samping unta-unta mereka dan membawa tasbih kuning gading di tangan; tentang Raja Pegunungan Rembulan yang sehitam eboni dan menyembah kristal-kristal besar; tentang ular hijau yang masyhur yang tidur di pohon kurma dan ada dua puluh orang pendeta yang memberinya makan kue-kue madu; tentang orang-orang kate yang menyeberangi danau besar dengan selembar daun raksasa dan selalu berperang melawan kupu-kupu.

"Layang-Layang sayang," kata Pangeran, "kau menceritakanku hal-hal yang menakjubkan. Tetapi, yang paling menakjubkan bagiku adalah penderitaan manusia. Tidak ada Misteri terhebat selain Kesengsaraan. Terbanglah di atas kota, Layang-Layang mungil, dan ceritakanlah apa yang kau lihat."

Maka Layang-Layang terbang di atas kota dan melihat orang-orang kaya bersenang-senang di rumah mereka yang megah, sementara para gelandangan duduk-duduk di jembatan. Ia terbang menuju gang-gang yang gelap dan melihat muka-muka pucat bocah-bocah yang kelaparan memandang ke arah jalan-jalan gelap. Di bawah jembatan, dua anak kecil saling memeluk untuk membuat tubuh mereka hangat. "Betapa laparnya kami!" kata mereka. "Kalian tidak boleh berbaring di sini," kata penjaga. Mereka berdua pun pergi di tengah-tengah hujan.

Lalu, ia terbang kembali dan menceritakan Pangeran apa yang ia lihat.

"Aku dilapisi emas murni," kata Pangeran, "kau harus mencopotnya, selembar demi selembar, dan memberikannya kepada orang-orang malang; manusia selalu menganggap emas dapat membuat mereka bahagia."

Lembar demi lembar emas murni telah dicopot si Layang-Layang, hingga Pangeran yang Bahagia terlihat tidak mengilap dan kelabu. Lembar demi lembar telah diberikan kepada yang malang, sehingga raut muka anak-anak berubah dan mereka pun tertawa dan bermain di jalanan. "Kita punya roti sekarang," teriak mereka.

Kemudian salju turun. Setelah salju turun, datanglah es. Seluruh kota terlihat laksana terbuat dari perak, sangat terang dan berkilau-kilauan; bilah es panjang seperti pisau kristal tergantung dari atap rumah-rumah. Semua orang bepergian dalam pakaian-pakaian bulu dan anak-anak kecil memakai topi-topi merah dan meluncur di atas es.

Layang-Layang kecil yang malang kedinginan dan kedinginan, tetapi ia tidak akan meninggalkan Pangeran, karena ia amat menyayanginya. Ia memungut remah-remah yang berjatuhan di luar rumah tukang roti ketika si tukang sedang tidak melihat. Ia mencoba menghangatkan diri dengan mengepak-kepakkan sayapnya.

Akan tetapi, akhirnya ia tahu bahwa ia tidak akan bertahan. Ia punya cukup tenaga untuk terbang ke bahu sang Pangeran untuk terakhir kali. "Selamat tinggal, Pangeran!" bisiknya, "bolehkah aku mencium tanganmu?"

"Aku senang kau akhirnya akan berangkat ke Mesir, Layang-Layang mungil", kata Pangeran, "kau telah tinggal terlalu lama di sini; dan kau bisa menciumku karena aku menyayangimu."

"Bukan ke Mesir aku akan pergi," kata Layang-Layang. "Aku akan pergi ke Akhirat. Bukankah Kematian itu bersaudara dengan Tidur?"
Ia pun mencium Pangeran yang Bahagia dan jatuh, meninggal di kaki sang Pangeran.

Di saat yang bersamaan, sebuah bunyi derak terdengar dari dalam patung. Sebenarnya, hati timah dalam patung telah patah menjadi dua. Tampaknya memang udara benar-benar dingin.

Di pagi hari, sang Mayor sedang berjalan bersama-sama para Konselor Kota. Ketika mereka melewati tiang, ia melihat ke atas dan berkata: "Ya Allah, betapa jembelnya Pangeran yang Bahagia itu!"

"Betul-betul jembel!" kata para Konselor, mereka memang selalu menyetujui kata-kata Mayor; dan mereka memanjat naik untuk melihatnya.
"Batu rubinya terlepas dari pedangnya, matanya hilang, dan dia tidak emas lagi," kata Mayor; "dia tidak lebih baik daripada gelandangan."

"Tidak lebih baik daripada gelandangan," kata para Konselor.

"Lihat ini, ada bangkai burung dikakinya!" lanjut Mayor. "Harusnya kita membuat peraturan bahwa burung-burung tidak boleh mati di sini." Maka para Konselor pun mencatat usul tersebut.

Lantas, mereka menurunkan patung Pangeran yang Bahagia. "Karena ia tidak indah, maka ia tidak berguna lagi," kata Profesor Seni di universitas.

Kemudian mereka meleburkan patung itu di tungku dan Mayor mengadakan pertemuan dengan korporat untuk membahas hal-hal yang perlu dilakukan terkait logam bekas patung. "Tentu saja kita harus membuat patung lagi," katanya, "dan patungnya adalah patung diriku."

"Diriku," kata setiap Konselor dan mereka berselisih. Kabar terakhir yang terdengar, mereka masih berselisih satu sama lain.

"Betapa anehnya!" kata mandor di tempat pengecoran logam. "Hati timah yang patah ini tidak mencair di dalam tungku. Buang sajalah." Maka mereka membuangnya ke timbunan sampah, tempat Layang-Layang juga bersemayam.

"Bawakan aku dua hal paling mulia di kota itu," kata Tuhan kepada malaikat-Nya; maka malaikat membawa hati timah dan bangkai burung ke hadapan-Nya.

"Benar sekali," kata Tuhan, "di Taman Firdaus burung kecil ini akan bernyanyi selama-lamanya, dan di kota emas Pangeran yang Berbahagia akan terus memuja-Ku."

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

*) Terjemahan dari The Happy Prince karya Oscar Wilde. Oscar Fingal O'Flahertie Wills Wilde lahir di Dublin tahun 1854 dan meninggal di Paris tahun 1900; dimakamkan di pemakaman Pere Lachaise. Karya-karyanya menaruh perhatian terhadap jiwa manusia dan kemiskinan. Cerpen ini diterjemahkan Aldi Aditya.

**) Katarak Sungai Nil: bagian dangkal Sungai Nil dan berbatu-batu di bagian sungai yang mengalir antara Khartoum dengan Aswan. Ada tujuh bagian katarak Sungai Nil.

***) maksudnya adalah binatang kuda nil.

****) patung Firaun Amenhotep III setinggi 18 meter yang berdiri sejak 1340 SM.

*****) sebuah kota di Lembah Bekaa, Libanon, yang dahulu di zaman Romawi dikenal dengan nama Heliopolis (kota matahari).

1 comment:

  1. sama kayak filosofi lilin ya,menerangi sekitarnya walau sendirinya meleleh dan lama2 abis :)

    ReplyDelete