Saturday, July 6, 2013

How I Want to be a Customer of Tsundere Cafe

"B..B..Bukan karena gw ulang tahun, lalu gw nulis lagi di blog sialan ini. B..Baka!"

Yap, di hari kejayaan Sir Handsome Muhammad Aldi Aditya of Self-Proclaimed-Badassery ini ternyata ada beberapa hal yang masuk wish-list untuk jadi hadiah terindah di duniah (ce'ilah, sok rhyming), kayak bucket list gitu deh. Terus terang keinginan ini banyak yang muluk sih, tapi (ibarat orang Jawa bilang) mau kesampeyan alhamdulillah, ndak yo wes, alhamdulillah juga.

 Daftar Ember
1. Punya teman Jack Russell Terrier
2. Nyelesein novel gw
3. Makan indomi goreng
4. keliling Pulau Jawa
...
174. Nongkrong di tsundere cafe

dst.

Kali ini, gue bakal ngebahas keinginan nomer 174, yaitu nongkrong di tsundere cafe. Hah? Apaan tuh tsundere cafe? Gampangnya, tsundere cafe itu, ya, cafe yang diisi tsundere.



Kalo masih nggak ngerti juga, sodara-sodara bisa cek dan liat seperti apa itu makhluk tsundere di sini dan di sini. Karena link yang gue kasih nginggris, mungkin gw kasih tau aja sedikit. Tsundere itu trope/karakter stoik yang ada di manga atawa anime. Biasanya traitnya tsundere itu adalah wanita super dingin terhadap pemeran utama, namun menyimpan hati dan kasih sayang terhadapnya. Contoh yang paling gue inget sih (silakan googling) Taiga Aisaka dan Eri Sawachika.



"B..Bukannya Tarzan mau nolong Jane. T..Tarzan cuma kebetulan lewat. B..Baka!"














Yah begitulah. Biasanya karakter tsundere penuh dengan pertentangan. Biasanya dia menyembunyikan isi hatinya dengan kalimat semacem ini:

-"Sekarang lo ulang tahun ya? Gw nggak keingetan kok, cuma kebetulan aja liat di FB... Baka!"

-"Lo besok mau snorkling ya? Bukannya apa-apa sih, cuma hati-hati aja, situs BMG bilang sekarang lagi musim hujan yang memicu pertumbuhan ubur-ubur. B..B.Bukannya gw khawatir terus cari tau ato begimana ya. P..Pokoknya hati-hati aja.... B..Baka!"

-"Lo kemaren ke ATM Mandiri trus ngambil uang 50 ribu ya? Pake debit kan? PIN lo 1234 ya? B..B..Bukannya gw stalking trus pengen ngerampok lo sih...B..Baka!" (kalo ketemu orang kayak gini lapor polisi ya! B..b..bukannya gue khawatir sama elo sih... B..Baka!)

(Note: pake kata Jepang "baka" yang artinya "idiot" itu sih cuma pemanis aja, silakan ganti dengan kata lain semisal "huh", "naudzubillah", "jancuk", terserah lo broh)

Balik lagi ke urusan kafe. Kenapa gw pengen nongkrong di tsundere cafe? B..b..bukan karena fetish atau semacamnya itu loh, j..j..jancuk! Oh, emang bener. Ini bukan masalah fetish sama sekali (fetish gue mungkin lebih ke... gimana ya? Idol SNSD favorit gue itu Sunny dan Sooyoung, jadi silakan tebak fetish gue deh). Nah, alesan utamanya lebih ke masalah fun aja, gue emang tertarik mencoba hal yang baru. Mungkin juga penasaran sama (kalo bicaranya serius nih) tegangan antara fiksi dan realita, terutama dalam trope tsundere itu sendiri, secara gue sedikit banyak pernah nonton anime.

Gue nggak tertarik dengan maid atau butler cafe. Ya gimana tertarik? Wong emang tugasnya butler atau maid itu melayani kok. Jadi, nggak aneh (banget) kalo ada kafe yang pelayannya itu pake baju butler atau maid.

Kalo tsundere kafe itu kan penuh anomali, ketidakmungkinan, atau ketidakumuman. Coba bayangin: Sebuah tsundere cafe di bilangan Taman Anggrek. Setelah seorang anime otaku mencari sarung guling Lum Invader 1:1 di MTA, ia mampir ke dalam kafe tersebut. Ia disambut oleh pelayan yang dengan ketus berkata, "Mau apa lo? Aer putih? Ambil sendiri! Nih, menu! Apa? Indomi goreng? Huh, nggak bisa ke warung pinggir jalan aja ya mas?"

"Bukannya ik peduli sama you ya makanya ik kasih servis"


Setelah penyambutan yang tak sedap itu, si pelayan pergi membawa pesanan. Ketika si otaku menikmati itu Indomi goreng, yang dibikin penuh cinta dan kasih sayang, bertanyalah kembali si pelayan tsundere, "Kalo mau pesen apa-apa lagi panggil saya aja ya. B..B..Bukannya gimana-gimana nih, pelayan yang lain pada sibuk semua kecuali saya. Dasar!" Lalu kemudian si otaku selesai bersantap. Pingin pulanglah ia. Si pelayan tsundere berkata, "Yah, kok pulang sih? Kan sepi jadinya. Besok ke sini lagi ya, tapi bukan karena saya kangen loh. Huh!"

"Besok marahin saya lagi ya."

Nah, cerita di atas ngasih anomali ke kita: tsundere cafe kudu marahin semua pelanggannya, tidak seperti cafe lain yang beramah-tamah. Bahkan, mungkin aja si pelayan datang dengan makanan yang (disengaja) tidak sesuai gitu, misalnya sedotannya ditancepin di nasi atau indominya diganti mi sedap (baca contohnya di sini). Holy shit! Trus, kalo pelayanannya seburuk itu, apa yang diutamakan?

Nah, tsundere cafe bakal ngasih pemaknaan lebih terhadap memori tsundere-ism, yang udah dibentuk dari pengalaman membaca atau menonton, kepada pengalaman nyata. Sama aja sih kayak setelah lo baca Batmannya Frank Miller, trus nonton Batmannya Cris Nolan, trus loncat maen batman-batmanan dengan memakai sarung sebagai cape: itu semua kan ngebentuk pengalaman lo mengenai batmanism. Ya gue sih ogah bicara lebih serius lagi, tapi kira-kira begitulah (terserah elo mau liat tsundereism pake teori bullshit apa lah: feminisme, hegemoni, kuasa, ekonomi, cultural studies).

Tsundere cafe emang sengaja dibentuk dengan sistemnya sendiri agar para customer bisa ngerasa nyaman, walaupun dimarahin dan diketusin. Agar mencapai tujuan itu, kayaknya sih mesti ada syarat, antara lain:

1. Tempatnya kudu nyaman. Kalo cuma ada bangku panjang dua biji dan ga ada AC sih lo makan aja di warteg, ambil gorengan lima, bilangnya dua. Ga usah ke tsundere cafe, lo bakal diketusin mbak2 situ kalo balik makan di situ lagi.

2. Pelayannya harus memenuhi kriteria muda, cakep, bersemangat, dll. Bayangin kalo lo diketusin ibu-ibu pengajian. Demek ga tuh?

3. Kostum harus punya daya tarik dan jangan aneh-aneh. Contohnya: kelinci boleh lah, tapi jangan pake kostum pisang. Ga ada orang yang kepengen dimarahin sama pisang.
"Ape lo liat-liat? Mo pesen ape?"

4. Diketusin bukan berarti dicuekin. Para pelayannya kudu ditraining biar bisa ketus, tapi tetap perhatian.

5. Jikalau ada yang menganggap bikin tsundere cafe as an art, lo bisa tolak mentah-mentah syarat di atas.

Mungkin ga sih tsundere cafe dibikin di Indonesia? Emang bakal ada customernya? Wah gue ga bisa jawab dengan pasti mengenai kemungkinan, tapi paling pasti gue akan masuk list orang yang bakal nyobain itu kalo sampe ada. Di sini bukan Jepang sih, jadi pasti ada tantangan tersendiri untuk bikin tsundere cafe.

Emang kayaknya belom ada cafe macem gitu sih di sini, cuma sebenernya sifat "tsun-tsun" atau "dere-dere" bisa ditemukan di pengalaman sodara-sodara. Mungkin kita semua pernah ngerasain dukacita waktu jadi customer di sebuah usaha jasa atau restoran, macem pelayannya ga senyum lah, makanannya nggak enak, atau satpam atau tukang parkirnya bego. Nah, pelayanan macem gitu bisa jadi menyenangkan kalo lo pura-puranya berada di tsundere cafe. Gimana? Tertarik? Kalo pernah punya pengalaman di-tsundere-in orang, cerita-cerita di komen aja ya.

Monday, October 1, 2012

Pangeran yang Bahagia*


 Di atas kota, sebuah patung Pangeran yang Bahagia berdiri di sebuah tiang yang tinggi. Seluruh tubuhnya dilapisi lembaran-lembaran emas murni. Kedua matanya adalah dua biji batu safir yang cemerlang. Sebiji batu rubi berkilau dari pangkal pedangnya.

Tentu saja ia amat dikagumi. "Ia secantik gada-gada," ujar salah seorang Konselor Kota yang berharap mendapatkan reputasi sebagai orang berselera artistik. "Hanya saja, ia tidak begitu berguna," tambahnya, takut-takut jika hanya sedikit yang menganggap patung itu tidak berguna (dan hal itu memang benar).

"Kenapa kau tidak bisa seperti Pangeran yang Bahagia?" tanya seorang ibu yang bijak kepada anaknya yang menangis karena meminta bulan. "Sang Pangeran tidak akan pernah menangis."

"Aku lega ada seseorang di dunia ini yang berbahagia," komat-kamit seorang pria yang kecewa ketika ia memandang patung yang menakjubkan itu.

"Ia seperti malaikat," kata Anak-Anak Karitas yang berjubah merah terang dan berpinafor putih bersih ketika mereka keluar katedral.

"Kok bisa tahu?" tanya Ahli Matematika, "kalian kan tidak pernah melihat malaikat sebelumnya."

"Pernah! Di dalam mimpi," jawab anak-anak; dan Ahli Matematika mengerutkan dahi; agak bengis ia karena tidak mempercayai mimpi bocah-bocah itu.

Suatu malam, terbanglah seekor burung layang-layang kecil di atas kota. Teman-temannya telah pergi ke Mesir enam minggu sebelumnya. Ia ketinggalan karena jatuh cinta kepada Buluh (alang-alang) yang paling cantik di dunia. Si Layang-Layang bertemu dengannya di awal musim semi ketika ia sedang terbang rendah di sungai mengejar seekor ngengat kuning. Ia tertarik dengan pinggangnya yang ramping sehingga ia berhenti untuk mengobrol dengannya.

"Bolehkah aku mencintaimu?" tanya Layang-Layang langsung ke tujuan. Buluh itu menunduk rendah, sehingga Layang-Layang terbang mengitarinya, menyentuh air dengan sayapnya, dan membuat riak-riak perak. Inilah tanda pertalian mereka dan hubungan tersebut berjalan selama musim panas.

"Sungguh suatu hubungan yang edan,"cericit para burung layang-layang lain; "si cewek tidak berduit dan punya saudara terlalu banyak"; Dan memang sungai itu ditumbuhi buluh di sana-sini. Lalu, ketika musim gugur datang, burung-burung itu terbang pergi.

Setelah mereka pergi, Layang-Layang itu merasa kesepian. Ia juga mulai bosan dengan kekasihnya. "Cewekku tidak pernah mengobrol," katanya, "jangan-jangan ia cewek ular, karena ia selalu bergenit-genitan dengan angin." Pastinya, kapanpun angin berhembus, Buluh selalu membungkukkan diri dengan lemah-gemulai. "Aku mengakui bahwa ia cewek domestik," lanjutnya, "tetapi aku suka bepergian, dan oleh karena itu, istriku seharusnya suka bepergian pula."

"Maukah kau ikut denganku?" Akhirnya Layang-Layang itu berkata kepada kekasihnya, tetapi Buluh menggeleng, karena ia amat terikat dengan rumahnya.

"Kau membuang-buang waktuku," teriaknya. "Aku berangkat ke Piramida. Selamat tinggal!" Ia pun terbang pergi.

Sehari penuh ia telah terbang dan malam harinya ia tiba di kota. "Di mana sebaiknya aku menginap?" katanya; "Kuharap di kota ini tempatnya telah tersedia."

Ia lalu melihat patung yang berdiri di atas tiang itu.

"Aku akan menginap di situ," katanya, "di sini bagus dengan udara segar yang berlimpah." Maka, ia hinggap di antara kedua kaki Pangeran yang Bahagia.

"Aku punya kamar tidur emas," bisiknya kepada dirinya sendiri sewaktu ia melihat sekelilingnya dan ia bersiap-siap tidur; tetapi, ketika ia sedang meletakkan kepalanya di bawah sayapnya, sebuah tetesan besar jatuh di tubuhnya. "Apa sih ini?" tanyanya; "padahal tidak ada segumpal awan pun di langit, bintang-bintang terlihat jelas dan terang, dan tidak hujan pula. Iklim Eropa bagian utara benar-benar buruk. Buluh biasanya suka hujan, tetapi itu cuma keegoisannya saja."

Tetes berikutnya jatuh.

"Apa gunanya patung ini jika tidak bisa menaungiku dari hujan?" gerutunya; "Sepertinya lebih baik aku menginap di cerobong saja," dan ia pun bergegas-gegas terbang kembali.

Akan tetapi, sebelum ia mengembangkan sayapnya, tetes ketiga jatuh dan ia melihat ke atas. Ia melihat—Ah! Apa yang ia lihat?

Mata si Pangeran dibasahi air mata yang mengalir melalui kedua belah pipi emasnya. Wajahnya amat rupawan diterangi cahaya bulan sehingga si Layang-Layang kecil dipenuhi rasa kasihan.

"Kamu siapa?" tanyanya.

"Aku Pangeran yang Bahagia."

"Lalu, kenapa kau menangis?" tanya Layang-Layang; "kau membuatku basah kuyup."

"Ketika aku masih hidup dan punya hati manusia," jawab si patung, "Aku tidak tahu apa itu air mata. Aku tinggal di Istana Sans-Souci dan di tempat itu duka tidak diperbolehkan ada di dalamnya. Di siang hari aku bermain dengan teman-temanku di taman dan di sore hari aku memimpin dansa di Aula Agung. Di sekeliling taman itu berdiri tembok yang tinggi, tetapi aku tidak pernah peduli untuk mengetahui apa yang ada di baliknya. Semuanya tentangku sangatlah indah. Semua residen memanggilku si Pangeran yang Bahagia, dan aku memang berbahagia, jika semua kesenangan itu memang membahagiakan. Jadi, aku hidup dan aku kemudian meninggal. Ketika aku mati, mereka mendirikanku di atas sini sehingga aku dapat melihat keburukan dan kesengsaraan di kotaku ini, dan karena hatiku terbuat dari timah, aku tidak bisa memilih untuk tidak bersedih.

"Dia tidak sepenuhnya tersepuh emas?"gumam Layang-Layang sendiri. Ia terlalu sopan untuk menggumamkan kesannya tersebut dengan lantang.

"Nun jauh di sana," lanjut si patung dengan nada yang rendah. "Nun jauh di sana, di sebuah gang, ada sebuah rumah yang reot. Salah satu jendelanya terbuka dan aku bisa melihat seorang wanita terduduk di meja. Mukanya kurus dan lesu. Ia punya tangan yang kasar dan memerah, tertusuk-tusuk jarum karena ia seorang penjahit wanita. Ia sedang menyulam bunga krisnakamala di atas sebuah gaun satin milik dayang yang paling cantik, untuk dipakai di pesta dansa. Di atas dipan di sudut ruangan, bocah lelakinya terbaring sakit. Ia demam dan mengigau meminta-minta buah jeruk. Ibunya tidak punya apa-apa untuk diberikan kepada anaknya, kecuali air sungai saja, maka si bocah menangis sejadi-jadinya. Layang-Layang yang mungil, maukah kau mencopot batu rubi di pedangku dan membawakannya untuk ibu itu? Kakiku tertancap kokoh di tumpuan ini, sehingga aku tidak bisa pergi."

"Aku ingin pergi menuju Mesir," kata si burung, "teman-temanku pasti sedang terbang tinggi rendah di atas Sungai Nil sembari mengobrol dengan teratai raksasa. Nanti mereka akan tidur di makam raja agung. Sang raja sendiri terbaring di situ, di dalam petinya yang dicat warna-warni. Ia terbungkus kain linen kuning dan dibalsem dengan rempah-rempah. Di lehernya terlingkar serantai giok yang hijau pucat dan tangannya seperti daun-daun yang layu."

"Layang-Layang yang mungil," kata Pangeran, "tidakkah kau ingin tinggal bersamaku semalam saja dan menjadi utusanku? Bocah itu kehausan dan ibunya sangat sedih."

"Kupikir aku tidak suka bocah," jawab Layang-Layang. "Musim panas yang lalu, ketika aku sedang tinggal di dekat sungai, ada dua orang bocah yang bengal. Merekalah anak-anak si penggiling gandum. Mereka sering sekali melempariku dengan bebatuan. Tentu saja lemparan mereka tidak pernah kena; kami, burung layang-layang, penerbang yang ahli, lagipula aku datang dari keluarga yang terkenal akan kegesitannya; tetapi tetap saja, itu merupakan tanda-tanda ketidakhormatan."

Akan tetapi, Pangeran yang Bahagia terlihat begitu sedih sehingga Layang-Layang merasa menyesal. "Begitu dingin di sini," katanya; "tetapi sepertinya aku akan tinggal untuk semalam dan menjadi utusanmu."

"Terima kasih, Layang-Layang kecil," kata Pangeran.

Maka, Layang-Layang mengambil batu rubi dari pedang si Pangeran dan terbang dengan batu tersebut di paruhnya, melewati atap-atap kota.

Ia melewati menara katedral, tempat berdirinya patung-patung malaikat dari pualam putih. Ia melewati istana dan mendengar irama dansa. Seorang gadis yang cantik keluar ke atas balkon dengan kekasihnya. "Betapa indahnya bintang-bintang," kata sang lelaki kepada gadis itu, "dan betapa menakjubkannya kekuatan cinta!"

"Kuharap gaunku akan siap pada waktunya untuk aula negara," jawab gadis itu; "aku telah menyuruh seseorang untuk menyulamkan bunga krisnakamala di atasnya; tetapi penjahit wanita itu terlalu malas."

Ia terbang melewati sungai dan melihat lentera-lentera yang tergantung di tiang-tiang kapal. Ia melewati getto dan melihat Yahudi-Yahudi tua saling menawar harga dan menimbang-nimbang uang di timbangan tembaga. Akhirnya ia sampai di rumah reot itu dan ia pun melihat ke dalam. Si anak berguling ke kanan-kiri di atas dipan karena demam dan ibunya jatuh tertidur saking letihnya. Ia meloncat ke dalam dan meletakkan biji rubi itu di atas meja, di samping bidal milik si ibu. Lalu, ia terbang dengan lembut di sekeliling dipan, mengipasi jidat si bocah dengan sayapnya. "Betapa sejuknya!" kata si bocah, "Aku pasti sudah agak baikan"; dan si bocah pun tertidur pulas.

Lalu Layang-Layang terbang kembali ke Pangeran yang Bahagia. Ia menceritakan apa yang telah ia lakukan. "Mengherankan," ucapnya, "Aku merasa hangat, walaupun aku tahu udara amat dingin."

"Itu karena kau melakukan sesuatu yang baik," kata Pangeran. Layang-Layang kecil mulai berpikir dan kemudian ia ketiduran. Berpikir selalu membuatnya mengantuk.

Ketika fajar tiba, ia terbang ke sungai dan mandi. "Sungguh sebuah kejadian yang luar biasa!" kata Profesor Ornitologi sewaktu ia sedang lewat jembatan. "Layang-layang di musim dingin!" Ia pun menulis artikel yang panjang mengenai hal tersebut untuk koran lokal. Semua orang mengingatnya. Artikel itu penuh dengan banyak sekali kata yang tidak dapat dimengerti oleh para pembaca.

"Malam ini aku berangkat ke Mesir," kata Layang-Layang dengan penuh semangat. Ia mengunjungi monumen-monumen dan bertengger lama di pucuk menara gereja. Kemana pun ia pergi, Pipit-Pipit berceloteh dan berkata satu sama lain, "Sungguh burung asing yang terhormat!" Layang-Layang benar-benar menikmati saat itu.

Ketika bulan naik, ia terbang kembali ke Pangeran yang Bahagia. "Kau punya salam untuk Mesir?" katanya; "Aku akan berangkat."

"Layang-Layang yang mungil," kata Pangeran, "tidakkah kau ingin tinggal bersamaku untuk satu malam lagi?"

"Aku ditunggu di Mesir," jawab Layang-Layang. "Besok teman-temanku akan terbang di atas katarak kedua**. Kuda-kuda sungai*** berbaring di situ di antara rumput-rumput sungai dan di tahta granit duduklah Dewa Memnon****. Semalam suntuk Dia mengawasi bintang-bintang dan ketika bintang fajar bersinar, Dia mengeluarkan raungan kebahagiaan dan kemudian diam. Di siang hari, singa-singa kuning datang ke tepi air untuk minum. Mereka punya mata serupa batu beril hijau dan auman mereka lebih keras daripada gemuruh katarak."

"Layang-Layang yang mungil," kata Pangeran, "nun jauh di sana, di sudut kota, aku melihat seorang pemuda di dalam sebuah loteng. Ia sedang bersandar di sebuah meja yang di atasnya bertumpuk kertas-kertas, dan di sampingnya bunga-bunga violet yang layu berserakan. Rambutnya coklat dan kering. Bibirnya semerah buah delima dan ia punya mata yang besar lagi bening. Ia sedang berusaha untuk menyelesaikan naskah untuk si Sutradara Teater, tetapi hari ini terlalu dingin untuk menulis. Tidak ada api di lotengnya dan rasa lapar telah membuatnya tidak sadarkan diri."

"Aku akan menunggu untuk satu malam lagi," kata Layang-Layang yang berhati mulia itu. "Baikkah jika aku membawa batu rubi yang lain?"

"Duh! Aku tidak punya batu rubi lagi," kata Pangeran; "mataku adalah sesuatu yang tersisa. Mataku terbuat dari safir langka yang dibawa dari India ribuan tahun yang lalu. Copot salah satu dan bawalah kepadanya. Ia akan menjualnya kepada tukang perhiasan dan membeli kayu bakar, kemudian menyelesaikan pekerjaannya."

Maka Layang-Layang pun mencopot satu mata Pangeran dan terbang ke loteng si pemuda. Cukup mudah untuk masuk ke dalamnya karena ada lubang di atapnya. Lewat situ ia meluncur seperti anak panah dan tiba di sebuah ruangan. Kepala pemuda itu tertelungkup, terkubur di kedua tangannya, sehingga ia tidak mendengar kepakan sayap burung. Ketika ia terbangun ia menemukan batu safir yang indah di atas bunga-bunga yang layu.

"Aku merasa dihargai," tukasnya; "ini pasti dari pengagumku yang terhebat. Sekarang aku bisa menyelesaikan naskahnya," dan ia terlihat bahagia.

Esoknya, Layang-Layang menukik ke pelabuhan. Ia hinggap di tiang sebuah kapal dan menonton para pelaut mengangkat kotak-kotak besar dari tumpuannya dengan tali. "Kuntul baris!" teriak mereka satu sama lain ketika setiap kotak diangkat. "Aku akan berangkat ke Mesir!" teriak Layang-Layang, tetapi tiada yang peduli. Ketika bulan muncul, ia terbang kembali ke Pangeran yang Bahagia.

"Aku datang untuk mengucap selamat tinggal," katanya.

"Layang-Layang yang mungil," kata Pangeran, "tidakkah kau ingin tinggal bersamaku untuk satu malam lagi?"

"Ini sudah musim dingin," jawab Layang-Layang, "salju sebentar lagi pasti turun. Di Mesir, matahari sedang bersinar hangat di atas pohon-pohon kurma dan buaya-buaya sedang berbaring malas di dalam lumpur. Teman-temanku sedang membuat sarang di Kuil Balbek*****, sementara merpati-merpati putih dan merah muda sedang menonton mereka dan bertekukur satu sama lain. Wahai, Pangeran yang Baik, aku harus meninggalkanmu, tetapi aku tidak akan melupakanmu. Aku pasti akan kembali musim semi mendatang dengan membawa batu-batu mulia untuk mengganti batu-batu yang telah kau berikan kepada orang-orang itu. Batu rubi yang kubawa akan lebih merah daripada mawar dan safirnya akan lebih biru daripada samudra."

"Di lapangan di bawah sana," kata Pangeran yang Bahagia, "berdirilah seorang gadis penjual korek api. Ia membiarkan korek-koreknya berjatuhan di selokan karena koreknya basah. Ayahnya pasti akan memukulnya bila ia pulang tidak membawa uang. Sekarang ia menangis. Ia tidak bersepatu ataupun memakai kaus kaki, dan tangan kecilnya telanjang. Copot mataku satu lagi dan berikan kepadanya. Ayahnya tidak akan memukulinya."

"Aku akan tinggal untuk satu malam lagi," kata Layang-Layang, "tetapi aku tidak bisa mencopot matamu. Kau akan jadi buta."

"Layang-Layang yang mungil," kata Pangeran, "lakukanlah apa yang kukatakan."

Maka si burung kecil mencopot sebuah mata Pangeran dan terbang meluncur seperti anak panah. Ia menukik melewati gadis penjual korek api dan melepaskan batu mulia itu ke telapak tangan si gadis. "Sungguh sebuah kaca yang indah!" kata si gadis; lalu ia berlari pulang, tertawa.

Kemudian Layang-Layang datang kembali ke Pangeran. "Kau buta sekarang. Karena itu aku akan terus bersamamu."

"Tidak, Layang-Layang mungil," kata pangeran malang itu, "kau harus pergi ke Mesir."

"Aku akan selalu di sampingmu," kata Layang-Layang dan ia pun tidur di kaki sang Pangeran.

Esoknya, ia seharian bertengger di bahu Pangeran dan bercerita tentang hal-hal yang telah ia lihat di negeri-negeri asing. Ia bercerita tentang burung-burung ibis merah yang berdiri di sepanjang Sungai Nil dan menangkap ikan dengan paruh mereka; tentang Spinks yang umurnya setua dunianya, tinggal di padang pasir, dan tahu segala hal; tentang kafilah-kafilah yang berjalan perlahan di samping unta-unta mereka dan membawa tasbih kuning gading di tangan; tentang Raja Pegunungan Rembulan yang sehitam eboni dan menyembah kristal-kristal besar; tentang ular hijau yang masyhur yang tidur di pohon kurma dan ada dua puluh orang pendeta yang memberinya makan kue-kue madu; tentang orang-orang kate yang menyeberangi danau besar dengan selembar daun raksasa dan selalu berperang melawan kupu-kupu.

"Layang-Layang sayang," kata Pangeran, "kau menceritakanku hal-hal yang menakjubkan. Tetapi, yang paling menakjubkan bagiku adalah penderitaan manusia. Tidak ada Misteri terhebat selain Kesengsaraan. Terbanglah di atas kota, Layang-Layang mungil, dan ceritakanlah apa yang kau lihat."

Maka Layang-Layang terbang di atas kota dan melihat orang-orang kaya bersenang-senang di rumah mereka yang megah, sementara para gelandangan duduk-duduk di jembatan. Ia terbang menuju gang-gang yang gelap dan melihat muka-muka pucat bocah-bocah yang kelaparan memandang ke arah jalan-jalan gelap. Di bawah jembatan, dua anak kecil saling memeluk untuk membuat tubuh mereka hangat. "Betapa laparnya kami!" kata mereka. "Kalian tidak boleh berbaring di sini," kata penjaga. Mereka berdua pun pergi di tengah-tengah hujan.

Lalu, ia terbang kembali dan menceritakan Pangeran apa yang ia lihat.

"Aku dilapisi emas murni," kata Pangeran, "kau harus mencopotnya, selembar demi selembar, dan memberikannya kepada orang-orang malang; manusia selalu menganggap emas dapat membuat mereka bahagia."

Lembar demi lembar emas murni telah dicopot si Layang-Layang, hingga Pangeran yang Bahagia terlihat tidak mengilap dan kelabu. Lembar demi lembar telah diberikan kepada yang malang, sehingga raut muka anak-anak berubah dan mereka pun tertawa dan bermain di jalanan. "Kita punya roti sekarang," teriak mereka.

Kemudian salju turun. Setelah salju turun, datanglah es. Seluruh kota terlihat laksana terbuat dari perak, sangat terang dan berkilau-kilauan; bilah es panjang seperti pisau kristal tergantung dari atap rumah-rumah. Semua orang bepergian dalam pakaian-pakaian bulu dan anak-anak kecil memakai topi-topi merah dan meluncur di atas es.

Layang-Layang kecil yang malang kedinginan dan kedinginan, tetapi ia tidak akan meninggalkan Pangeran, karena ia amat menyayanginya. Ia memungut remah-remah yang berjatuhan di luar rumah tukang roti ketika si tukang sedang tidak melihat. Ia mencoba menghangatkan diri dengan mengepak-kepakkan sayapnya.

Akan tetapi, akhirnya ia tahu bahwa ia tidak akan bertahan. Ia punya cukup tenaga untuk terbang ke bahu sang Pangeran untuk terakhir kali. "Selamat tinggal, Pangeran!" bisiknya, "bolehkah aku mencium tanganmu?"

"Aku senang kau akhirnya akan berangkat ke Mesir, Layang-Layang mungil", kata Pangeran, "kau telah tinggal terlalu lama di sini; dan kau bisa menciumku karena aku menyayangimu."

"Bukan ke Mesir aku akan pergi," kata Layang-Layang. "Aku akan pergi ke Akhirat. Bukankah Kematian itu bersaudara dengan Tidur?"
Ia pun mencium Pangeran yang Bahagia dan jatuh, meninggal di kaki sang Pangeran.

Di saat yang bersamaan, sebuah bunyi derak terdengar dari dalam patung. Sebenarnya, hati timah dalam patung telah patah menjadi dua. Tampaknya memang udara benar-benar dingin.

Di pagi hari, sang Mayor sedang berjalan bersama-sama para Konselor Kota. Ketika mereka melewati tiang, ia melihat ke atas dan berkata: "Ya Allah, betapa jembelnya Pangeran yang Bahagia itu!"

"Betul-betul jembel!" kata para Konselor, mereka memang selalu menyetujui kata-kata Mayor; dan mereka memanjat naik untuk melihatnya.
"Batu rubinya terlepas dari pedangnya, matanya hilang, dan dia tidak emas lagi," kata Mayor; "dia tidak lebih baik daripada gelandangan."

"Tidak lebih baik daripada gelandangan," kata para Konselor.

"Lihat ini, ada bangkai burung dikakinya!" lanjut Mayor. "Harusnya kita membuat peraturan bahwa burung-burung tidak boleh mati di sini." Maka para Konselor pun mencatat usul tersebut.

Lantas, mereka menurunkan patung Pangeran yang Bahagia. "Karena ia tidak indah, maka ia tidak berguna lagi," kata Profesor Seni di universitas.

Kemudian mereka meleburkan patung itu di tungku dan Mayor mengadakan pertemuan dengan korporat untuk membahas hal-hal yang perlu dilakukan terkait logam bekas patung. "Tentu saja kita harus membuat patung lagi," katanya, "dan patungnya adalah patung diriku."

"Diriku," kata setiap Konselor dan mereka berselisih. Kabar terakhir yang terdengar, mereka masih berselisih satu sama lain.

"Betapa anehnya!" kata mandor di tempat pengecoran logam. "Hati timah yang patah ini tidak mencair di dalam tungku. Buang sajalah." Maka mereka membuangnya ke timbunan sampah, tempat Layang-Layang juga bersemayam.

"Bawakan aku dua hal paling mulia di kota itu," kata Tuhan kepada malaikat-Nya; maka malaikat membawa hati timah dan bangkai burung ke hadapan-Nya.

"Benar sekali," kata Tuhan, "di Taman Firdaus burung kecil ini akan bernyanyi selama-lamanya, dan di kota emas Pangeran yang Berbahagia akan terus memuja-Ku."

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

*) Terjemahan dari The Happy Prince karya Oscar Wilde. Oscar Fingal O'Flahertie Wills Wilde lahir di Dublin tahun 1854 dan meninggal di Paris tahun 1900; dimakamkan di pemakaman Pere Lachaise. Karya-karyanya menaruh perhatian terhadap jiwa manusia dan kemiskinan. Cerpen ini diterjemahkan Aldi Aditya.

**) Katarak Sungai Nil: bagian dangkal Sungai Nil dan berbatu-batu di bagian sungai yang mengalir antara Khartoum dengan Aswan. Ada tujuh bagian katarak Sungai Nil.

***) maksudnya adalah binatang kuda nil.

****) patung Firaun Amenhotep III setinggi 18 meter yang berdiri sejak 1340 SM.

*****) sebuah kota di Lembah Bekaa, Libanon, yang dahulu di zaman Romawi dikenal dengan nama Heliopolis (kota matahari).

Saturday, September 29, 2012

Maen tebak-tebakan


Yoo, Guys! Suka maen tebak-tebakan? Buah, buah apa yang bisa ngeluarin susu? Alah, itu mah tebak-tebakan anak TK. Anak kecil dapat dengan gampang menebaknya. Tapi, lo jadi penasaran? Apa? Minta petunjuk? Oke, ini buah makin dewasa makin gede dan keras. Hampir semua laki-laki suka dan pasti pernah menikmati buah ini. Apaaa??? Makin penasaraaan??? Siap-siap deh dikasih jawabannya, tapi sebelum itu  liat kanan kiri dulu yah, ada anak kecil apa nggak. Udah siaap? Jawabannya adalaaaahhh.... buah kelapa!!! Iya lah, santen kelapa kan bahasa inggrisnya coconut milk ('susu kelapa'). Coba lu tanya laki-laki mana yang nggak pernah dan suka menikmati buah idaman yang satu ini? Ya kaaan??

Nah, itu contoh teka-teki buat level beginner. Gw mau ngasih tebak-tebakan yang tingkat kesulitannya sangat super sekali gituh, melebihi soal-soal tes potensi akademik ujian masuk universitas. Kalo lo bisa ngasih jawabannya, mungkin lo ada bakat pinter. Oh, iya, biar nggak ditangkep polisi gara-gara plagiarisme, gw ngaku deh kalo ini soal gw dapet dari kaskus kira-kira tahun 2010, cuma addressnya lupa. Check this out, yo!

Ada lima buah rumah yang memiliki warna berbeda-beda, di setiap rumah tinggal seorang pria berkebangsaan tertentu. Masing-masing menyukai jenis minuman tertentu, masing-masing menghisap rokok dengan merek tertentu dan masing-masing memelihara jenis binatang tertentu.

Tidak ada satu orang pun di antara mereka yang berkebangsaan sama, menyukai minuman sama, menghisap rokok yang sama, atau memelihara binatang yang sama.

Pertanyaannya: Siapakah diantara mereka berlima yang memelihara ikan?

Petunjuk :

1. Orang inggris tinggal di dalam rumah berwarna merah

2. Orang swedia memelihara anjing

3. Orang denmark senang minum teh

4. Rumah berwarna hijau terletak tepat di sebelah kiri rumah berwarna putih

5. Penghuni rumah berwarna hijau senang minum kopi

6. Orang yang merokok Pall Mall memelihara burung

7. Penhuni rumah yang terletak di tengah-tengah senang minum susu

8. Penghuni rumah berwarna kuning merokok Dunhill

9. Orang norwegia tinggal di rumah pertama

10. Orang yang merokok Marlboro tinggal di sebelah orang yang memelihara kucing

11. Orang yang merokok Winfield senang minum bir

12. Orang yang memelihara kuda tinggal di sebelah orang yang merokok Dunhill

13. Di sebelah rumah berwarna biru tinggal orang norwegia

14. Orang jerman merokok Rothmans

15. Orang yang merokok Marlboro tinggal di sebelah orang yang meminum air

Udah tahu jawabannya? Selamat mencoba! Yang bisa jawab duluan bakal gw traktir makan keripik singkong sepuasnya. So, don't miss the chance, dude!

Friday, September 28, 2012

Jangan dengerin ini kalo lagi nggak ngebut!

Lain orang lain pleylis sih karena yang namanya selera tiap orang nggak sama, tapi di sini gw mau sharing mengenai lagu yang cocok jika lo ketemu situasi:
  1. Lo orang Amerika yang lagi naek chevy impala di interstate highway di daerah Nevada. Mobil lo lari 80 km per jam. Di sebelah barat, sunset mengguratkan sinar jingganya, sementara angin membuat rambut lo berkibar-kibar.
  2. Lo lagi nyetir di tol Purbaleunyi dan baru aja lewat Purwakarta. Mobil lo lari 90 km per jam. Di kana-kiri lo ada bukit dan sawah.
  3. Lo lagi naek delman. Ceritanya lo Lone Ranger gitu. Lo lagi memacu kuda lo ke arah matahari tenggelam, sementara itu tampak siluet Grand Canyon di kejauhan.
 Pertanyaannya: di saat-saat seperti itu, enaknya muter lagu apa yaa???

Nah, buat yang belom tahu jawabannya, ada beberapa opsi yang bisa dipilih. Check this out, Dude!

"Shoot to Thrill" dari AC/DC itu pilihan yang bagus. Kenapa? Soalnya kalo denger itu berasa jadi Tony Stark aja gitu (ini kan lagu sontreknya Iron Man). Ya lo tau lah kalo Sony Track Tony Stark itu jenius, milyuner, playboy, dan filantropis.


Nggak juga deng, lagunya emang bagus kok. Beatnya oke,

Kalau lo pernah maen GTA: Vice City, pasti nggak asing dengan "You've Got Another Thing Coming" dari Judas Priest. Nah, ini lagu asyik banget buat kebut-kebutan di jalan.


Liriknya juga sesuai lah, tentang kesombongan dan gairah masa muda gitu. Dan satu lagi, Rob Halford is a metal god.

Nggak jauh-jauh dengan Judas Priest, ada satu dari aliran yang sama, new wave of british heavy metal, dan yang ini pasti bisa ditebak. Siapa lagi selain... Iron Maiden, sodara-sodara!. Coba deh dengerin lagu yang liriknya bertema sama dengan lagu Priest di atas: "Wasted Years" dari Iron Maiden:


Kalau pernah ada lagu yang beatnya asyik dan video klipnya juga sesuai dengan situasi yang telah disebutkan di atas, maka lagu itu adalah "Orpheus" dari Ash. Band Irlandia ini nampilin cerita dalam klip yang temanya kejar-kejaran mobil di tengah gurun. Sungguh super!

Di lagu ini ada riff gitar paling keren di seluruh alam semesta.

Masih dengan video klip dengan tema sama, kejar-kejaran di gurun pasir, dan oleh karena itu ada satu lagu yang nggak boleh dilewatkan: "Show Me How to Live" dari Audioslave.


Kalo di video klip ini lengkap sudah: ada buronan, sheriff, kota koboy, gurun, mobil tebolak-balik, ledakan, dll deh. Pokoknya bikin adrenalin mengalir deras gitu. Bayangin coba jika dengerin ini sambil nyetir tancap gas, widih maknyusnya.

Nah, itu sedikit dari banyak lagu yang bisa dipilih sih. Mungkin ada lagu lain di luar sana yang lebih cocok untuk nyetir dan, ya, kalo ketemu yang laen lagi silakan disharing aja lho. Tapi, gw kasih peringatan nih: ngebutnya jangan pol-polan, inget keluarga sedang menunggu di rumah.

There are hundreds of ways to say "f**k you

Akhirnya kali ini kita menghadapi postingan yang agak-agak 18++ gitu yah. Oo, tapi tenang dulu. Bukanlah postingan kali ini yang bertema "how to say 'fuck you' in another language 101" merupakan postingan tidak berguna, melainkan mempunyai nilai akademik yang berguna nan luhur. Wah, luhur di mananya ya???

Oke, argumennya begini. Gw lumayan senang belajar bahasa, walaupun nggak seprofesional dan sepintar beberapa kenalan saya. Gw suka memakai atau mengingat-ingat istilah dalam bahasa asing (yang terbaru itu adalah "lebenslangeschcitsalschatz", sebuah random quote di episode terbaru How I Met Your Mother). Dan gw tahu bahwa salah satu jenis kosakata yang paling gampang diingat adalah kosa kata maki-makian. Serius! Kalau lo belajar maki-makian dalam bahasa asing, rasanya agak-agak gimana gitu, berasa cepet bisa.

Jadi, kita mulai saja kelas FU 101 yang saya janjikan. Selamat belajar!

Kita mulai dari Indonesia. Kalimat suci FU biasanya diekspresikan dengan kalimat "n*****t loe". Tiada sembarang orang yang dapat melepaskan kalimat seindah ini dari mulutnya, kecuali memang orang tersebut sudah sangat marah, kesal, atau memang sudah terbiasa. Gw sendiri udah lama banget nggak ngucapin kalimat ini. Ada kali terakhir pas SMA, soalnya gw menganggap diri gw masih terlalu kotor untuk mengucapkan kalimat nan suci ini.

Di dalam dunia peringgrisan, kita tidak asing lagi dengan istilah fuck you. Nah, kalau memakai ekspresi yang ini, saya tidak ada masalah karena ini kalimat cinta paling universal--semua orang tahu artinya. Malah, kadang-kadang ada orang yang menempatkannya sebagai pengganti verba atau nomina tertentu.
Misalnya:

This fucking thing is fucked and i'm gonna fucking hell out of this fucking place immediately.

Bandingkan dengan:

Smurf terampil sudah smurf alat itu dan saya harap smurf itu dapat smurf segera.

Di dalam bahasa Jerman, penggunaan kata FU tidaklah sukar karena punya kemiripan dengan bahasa Inggris. Mereka biasanya bilang "fick dich" dan jujur aja cuy, ini salah satu ekspresi yang paling keren. Kenapa? Karena bahasa Jerman itu kedengerannya kaku banget, jadinya cocok gitu untuk marah-marah atau mengumpat dalam bahasa tersebut. Coba bayangin Arnold Schwarzenegger di masa kejayaannya:

Cleaning man at flophouse: [Damaged skin on the Terminator is rotting from gangrene] "Hey, buddy. You got a dead cat in there, or what?"

[the Terminator visualizes: 'POSSIBLE RESPONSE: YES/NO; OR WHAT?; GO AWAY; PLEASE COME BACK LATER; FUCK YOU, ASSHOLE; FUCK YOU']

Arnold/T-800: "Fuck you, asshole."

Adegan itu bisa dilihat dalam film Terminator (1984) di menit 71:09 - 71:29. Jika saja Arnold bilang "Fick dich, arschloch", dia bakal dapet Oscar undisputed tahun itu juga.

Oh iya, varian turunan "fick dich" adalah "mutterficken" yang artinya sama kayak kata yang mirip-mirip bunyinya dalam bahasa Inggris (ya tebak lah). Kalau mau memaki atau mengumpat dengan lebih sopan, pake "Scheiße" aja, artinya 'shit'.

SITUASI: Lo lagi di puncak menara eiffel. Pasangan lo sudah gelisah sedari tadi. Di pojok sana, ada pasangan muda-mudi jepang; cowoknya berlutut sementara ceweknya teriak-teriak "Hai. Ikitaidesu!" Sebelah sono lagi ada pasangan itali gay yang berpelukan sambil teriak "Si, signore!" Ada juga pasangan om-om dan tante-tante dari Miami yang bilang "Yes, I do!"

Nah, ceritanya pasangan lo udah melakukan sinyal lirik-lirikan. jika lo cewek, ya, lo tinggal tunggu aja. Jika lo cowok, udah lo rogoh itu kantong. Di tangan lo udah ada kotak kecil beludru warna item.

Kemudian, kalo lo cowok, lo tinggal berlutut aja sambil ngucapin kata-kata sakti. Tiba-tiba ada sepasang muda-mudi lokal yang kebetulan lagi maen galasin atau kejar-kejaran di situ. Salah satu dari mereka nyenggol elu sehingga itu kotak beludru jatuh ke permukaan tanah Paris yang dingin. Di kejauhan sana, monumen Arc de Triomphe menertawakan kemalangan lo. Apa yang harus lo katakan saat itu juga?

Jawaban yang benar adalah "Va te faire foutre". Artinya pasti udah tau deh, secara kita lagi di FU 101.

Dan ini dia. Salah satu bentuk pengucapan FU ternyata merupakan salah satu panggilan sayang yang penuh dengan kehangatan, persaudaraan, kasih-sayang, keakraban, dan suasana silaturahim. Bentuk pengucapan yang manakah itu?

Tidak usah jauh-jauh. Kita ke Surabaya dan sekitarnya. Yak, benar! Kata itu adalah "jancuk" sodara-sodara!

Varian kata itu sebenarnya banyak: jancuk, jancok, diancuk, diamput, cuk, dll. Akan tetapi, biasanya sebutan itu dipakai untuk menyapa, yah katakanlah, dua sahabat karib yang sudah lama tidak bersua. Makanya gw bilang ucapan itu penuh dengan kasih sayang, padahal mah artinya gitu deh. Tapi, ada pelajaran yang bisa diambil kan? Don't ever take everything too literally.

PR buat di rumah: carilah ekspresi FU dalam bahasa-bahasa lain dan presentasikan temuan anda dalam pertemuan berikutnya. Untuk tugas akhir, buatlah sebuah paper mengenai "perdamaian dunia dalam kalimat cinta 'Fuuuuk Youuuu'"!

Pierre Menard, Sang Pengarang Quixote****


Karya-karya nyata peninggalan novelis ini dapat dengan mudah dan ringkas disebutkan satu per satu. Oleh karena itu, sungguh tak termaafkan bila ada kelalaian penyebutan dan penambahan oleh Madame Henri Bachelier dalam sebuah katalog sesat yang dimuat dalam sebuah surat kabar (yang sangat condong kepada kaum Protestan) dan membebankan kelalaian itu kepada para pembacanya—walaupun jumlah pembacanya sangat sedikit dan merupakan kaum Calvinis, jika bukan Masonik atau semacamnya. Sahabat-sahabat Menard memandang katalog tersebut dengan gusar, bahkan dengan kepiluan yang mendalam. Seseorang barangkali akan mengatakan bahwa baru saja kemarin kita berkumpul di hadapan monumen terakhirnya, di tengah murungnya batang-batang cemara, dan Kekeliruan seperti itu (dengan K besar) telah mencoba untuk memudarkan kenangan terhadapnya... Sudah pasti bahwa sebuah pembetulan terhadap kekeliruan tersebut tidak akan terhindarkan.

Saya insaf bahwa ilmu saya masihlah sangat sedikit. Bagaimanapun, saya harap saya dapat menyebut dua pengakuan yang termasyhur. Baroness de Bacourt (dalam vendredis(1) yang tak terlupakan—saya mendapat kehormatan bertemu sang pujangga) sangat layak untuk disebutkan. Countess de Bagnoreggio, salah seorang paling rapuh dan lembut di Kerajaan Monako (dan kini ia di Pittsburgh, Pennsylvania, ikut dengan suaminya, Simon Kautzsch, seorang filantropi yang baru saja disudutkan dengan fitnah musuh-musuhnya) telah mengorbankan "dalam kejujuran dan maut" (begitulah ia sendiri menyebutnya) sikap mulianya dan, dalam sebuah surat terbuka di majalah Luxe, saya mendapat restunya. Dua pengakuan tersebut menurut saya lebih dari cukup.

Saya telah mengatakan bahwa karya-karya Menard dapat dengan mudah disebutkan satu per satu. Dengan memeriksa secara teliti catatan-catatan hidupnya, saya menemukan beberapa karya:

a. Soneta simbolis yang dimuat dua kali (dengan segala variasinya) dalam tinjauan dalam La Conque (edisi Maret dan Oktober 1899).

b. Monograf mengenai kemungkinan membentuk kosakata puitis yang bukan kumpulan sinonim atau parafrase dalam bahasa yang dipakai sehari-hari. "Lebih tepat dikatakan sebagai objek ideal yang diciptakan lewat kaidah dan pada hakikatnya ditujukan untuk memuaskan kebutuhan puitis" (Nimes, 1901).

c. Monograf mengenai "hubungan atau pertalian khusus" antara pemikiran Descartes, Leibniz, dan John Wilkins (Nimes, 1903).

d. Monograf mengenai karya Leibniz, Characteristica Universalis (Nimes, 1904).

e. Sebuah artikel mengenai kemungkinan mengembangkan permainan catur dengan meniadakan salah satu pion benteng. Menard sendiri yang mengajukan, menganjurkan, membahas, dan akhirnya menolak ide tersebut.

f. Monograf mengenai karya Raymond Lully, Ars Magna Generalis (Nimes, 1906).

g. Terjemahan, dengan prakata dan catatan, mengenai karya Ruy L'pez de Segura, Libro de la Invenci n Liberal y Arte del Juego del Axedrez (Paris, 1907).

h. Kertas kerja mengenai monograf tentang logika simbolik George Boole.

i. Pemeriksaan mengenai dalil metrik yang mendasar dari keprosaan Prancis, digambarkan dengan contoh yang diambil dari Saint-Simon (Revue des Langues Roman, Montpellier, Oktober 1909)

j. Balasan kepada Luc Durtain (yang menyangkal adanya dalil tersebut), digambarkan dengan contoh yang diambil dari Luc Durtain (Revue des Langues Roman, Montpellier, Desember 1909)

k. Manuskrip berjudul La Boussole des Precieux yang merupakan terjemahan karya Quevedo, Aguja de Navegar Cultos.

l. Kata pengantar untuk katalog mengenai sebuah perawian tentang litograf oleh Carolus Hourcade (Nimes, 1914).

m. Karya berjudul Les Problemes d'un Probleme (Paris, 1917) yang membahas secara kronologis solusi-solusi terhadap persoalan Achilles dan Kura-Kura(2). Sejauh ini, buku tersebut telah terbit dalam dua edisi dan edisi terakhir memuat epigraf rekomendasi Leibniz "ne craignez point, monsieur, la tortue(3)" dan merevisi beberapa bab sebagai persembahan atas pemikiran Russel dan Descartes.

n. Analisis yang kuat terhadap "kebiasaan sintaksis" Toulet (N. R. F., Maret 1921). Menard, seingat saya, menyatakan bahwa cercaan dan pujian merupakan pekerjaan sentimental yang tidak ada hubungannya dengan kritik sastra.

o. Perubahan menuju aleksandrin(4) dalam karya Paul Valery, Le Cimitiere Marin (N. R. F., Januari 1928).

p. Cercaan terhadap karya Paul Valery, dalam Tulisan untuk Penindasan Realitas oleh Jacques Reboul (cercaan itu—begitulah saya menyebutnya—adalah kebalikan dari pendapat aslinya terhadap Valery; yang dicerca sudah mengerti sedemikian rupa sehingga persahabatan antara mereka yang sudah terjalin sejak lama tidak terganggu).

q. "Definisi" mengenai Countess de Bagnoreggio, dalam "edisi kejayaan"—sebutan dari Gabriele d'Annunzio yang merupakan salah seorang kolaborator edisi tersebut— yang diterbitkan per tahun oleh wanita ningrat tersebut untuk meralat kesesatan berita para jurnalis tentangnya dan untuk memperkenalkan "kepada seluruh dunia dan seluruh Italia" sebuah citra yang asli mengenai dirinya yang seringkali (dikarenakan kecantikan dan kegiatannya) diberitakan secara keliru.

r. Seri soneta-soneta terpuji untuk Baroness de Bacourt (1934).

s. Manuskrip daftar sajak-sajak yang kemujarabannya bergantung kepada pungtuasinya*.

Inilah karya-karya Menard yang disusun secara kronologis (selengkap-lengkapnya, kecuali beberapa soneta yang tidak jelas dan ditulis untuk majalah Madame Henri Bachelier yang norak). Saya ingin mengingat karyanya yang lain, yang esensial, yang gagah berani tiada tara, yang tidak tersaingi, dan yang—sungguh beliau punya kapasitas yang luar biasa!—tidak terselesaikan. Karya ini, mungkin karya terpenting di zaman kita, terdiri dari bab kesembilan dan ketiga puluh delapan dari Don Quixote bagian pertama dan sebuah fragmen dari bab kedua puluh dua. Saya tahu bahwa penegasan tersebut terdengar aneh, namun untuk memberikan alasan terhadap "keanehan" tersebutlah tulisan ini dibuat**.

Dua buah teks yang tidak setara nilainya telah menginspirasi usahanya tersebut. Yang satu adalah fragmen filologis dari Novalis—bernomor 2005 di dalam edisi Dresden— yang menguraikan tema tentang ciri-ciri menyeluruh sang pengarang tersebut. Yang lainnya adalah sebuah buku sampah yang menceritakan Kristus di jalanan, Hamlet di La Cannebiere, atau Don Quixote di Wall Street. Seperti halnya seseorang yang berselera tinggi, Menard tidak suka akan karya "kirab" seperti itu. Karya-karya tersebut menurutnya hanyalah anakronisme yang menghasilkan kesenangan tingkat rendah atau (yang lebih buruk lagi) memikat pembacanya dengan ide bahwa kesenjangan waktu itu tidak penting. Yang lebih menarik lagi, meskipun eksekusi karya itu dangkal dan bertentangan di sana-sini, dia bisa menerka rencana agung Daudet (pengarang karya kirab tersebut—penerj.): menggabungkan sang ksatria berbakat dan pengawalnya(5) di dalam satu tokoh, yaitu Tartarin... Beberapa orang secara tak langsung menyindir Menard bahwa ia menghabiskan waktunya untuk menulis ulang Quixote. Hal itu berarti perendahan terhadap ilmu dan ingatannya yang termashyur.

Ia tidak ingin mengarang Quixote yang lain—baginya hal itu amat mudah. Yang ia inginkan adalah mengarang Quixote itu sendiri. Tidak perlu diuraikan lagi, ia tidak pernah bermaksud menulis ulang atau menyalin karya aslinya. Maksud luhurnya adalah menciptakan beberapa halaman yang serupa—kata per kata, kalimat per kalimat—dengan karya Miguel de Cervantes tersebut.

"Ideku memang mengherankan," dalam suratnya kepada saya dari Bayonne tanggal 30 September 1934. "Mungkin sama mengherankannya dengan istilah-istilah teologi atau metafisika—seperti dunia obyektif, Tuhan, kausalitas, atau tatanan alam semesta. Bedanya, para filsuf mengarang buku-buku lain sebagai penjelas teori mereka, sedangkan aku memilih untuk tidak mengikuti tata cara tersebut." Memang benar, tidak ada tulisannya yang lain yang menceritakan usahanya tersebut.

Metode awalnya amatlah sederhana: jadi orang Spanyol, gali kembali iman Katolik, berperang melawan orang Turki atau Islam, lupakan sejarah Eropa sepanjang 1602 hingga 1918, jadilah Miguel de Cervantes. Awalnya ia dengan tekun mengikuti cara itu (saya tahu dia lumayan menguasai bahasa Spanyol abad ketujuh belas) tetapi kemudian membuangnya jauh-jauh karena menurutnya cara tersebut terlalu mudah. Kami ingin yang tidak mungkin! begitulah kira-kira tuntutan pembaca nantinya. Memang begitulah, tetapi menulis kembali Quixote memang sudah mustahil sejak awal dan dari semua cara melakukannya, cara tersebut adalah yang paling tidak menarik. Di abad kedua puluh ini, menjadi seorang pengarang abad ketujuh belas baginya hanyalah buang-buang tenaga. Menjadi Cervantes dan menyelami Quixote tampaknya agak sulit dan tidak menarik jika dibandingkan dengan menjadi Pierre Menard dan menyelami Quixote lewat pengalaman Pierre Menard (pemikiran ini membuatnya menghilangkan prakata otobiografi dalam bagian kedua Don Quixote. Memasukkan prakata bukan hanya berarti menciptakan karakter lain—Cervantes—, tetapi juga memperkenalkan Quixote lewat ucapan karakter tersebut, bukan Menard. Tentu saja Menard menolak fasilitas tersebut).

"Sebenarnya pekerjaan ini tidak sulit," saya membaca bagian lain suratnya, "Aku hanya perlu hidup selama-lamanya untuk menyelesaikannya." Perlukah saya mengakui bahwa saya sering membayangkannya menyelesaikan karya itu dan saya membaca Quixote seperti Menard memahaminya? Beberapa malam kemudian, ketika melewati lembaran-lembaran bab XXVI—saya tidak pernah memperbincangkan hal ini dengan beliau—saya mengenali gaya bahasanya dalam frase "peri-peri sungai dan Gema yang muram dan lengas". Rangkaian kata yang menggambarkan sifat fisik dan spiritual sekaligus seperti itu mengingatkan saya akan potongan sebuah puisi Shakespeare yang pernah kami bahas pada suatu sore:

"Tempat orang-orang Turki yang keji dan bersorban..."

Tetapi kenapa Quixote? Pembaca akan bertanya seperti itu. Sebuah pilihan, menurut orang Spanyol, akan selalu bisa dipahami; namun, tidak diragukan lagi bahwa alasannya adalah karena beliau, seorang Simbolis dari Nimes, sejatinya adalah seorang pengagum Poe, juga Baudelaire, juga Mallarme, juga Valery, juga Edmond Teste. Surat yang telah disebutkan sebelumnya menjelaskan hal itu. "Quixote," Menard menyatakan, "sangat menarik minatku, tetapi karya tersebut bukannya—mungkin istilahnya—tidak terelakkan. Aku tidak bisa membayangkan semesta tanpa seruan Edgar Allan Poe:

"Ah, usunglah dalam ingatan pesona taman  ini!"

atau tanpa Bateau Ivre atau Ancient Mariner, tetap aku mampu membayangkan semesta tanpa Quixote. Bagiku (Aku bicara sewajarnya lewat kapasitas diriku dan bukan karena gaung historis karya-karya tersebut) Quixote hanyalah karya yang tidak penting. Aku bisa merencanakan untuk menulisnya (dan aku memang bisa menulisnya) tanpa terjebak dalam pengulangan. Ketika aku berumur sepuluh atau dua belas tahun, aku telah membaca seluruh isinya. Kemudian, aku juga telah membaca ulang beberapa babnya. Aku juga telah membaca beberapa selingan, naskah drama, Galatea, novel-novel jiplakan, belum lagi godaan yang sulit dari Persiles dan Segismunda dan Viaje del Parnaso... Sepanjang ingatanku, yang terasah ke-lupa-an dan ke-acuh-tak-acuh-an, Quixote dapat digambarkan sebagai sebuah buku yang "belum pernah ditulis". Sekali gambaran tersebut dinyatakan olehku (dan tidak ada yang bisa menyangkalnya), sudah pasti bahwa masalah yang kuhadapi lebih sulit daripada Cervantes. Pendahuluku tersebut (Cervantes, penerj-) tidak menolak datangnya kesempatan: ia mengarang karya besarnya a la diable, terbawa oleh kelembaman bahasa dan penemuan baru. Aku telah menerima tugas untuk merekonstruksi secara harfiah karya spontannya."

"Aturan mainku ditentukan oleh dua keinginan. Pertama, adanya kemungkinan untuk mengarang variasi formal atau psikologis; dan yang kedua, keharusan mengorbankan variasi tersebut kepada teks "asli" dan membuat alasan yang tak terbantahkan mengenai pengorbanan tersebut... Untuk rintangan buatan tersebut, sesuatu harus ditambahkan. Mengarang Quixote pada awal abad ketujuh belas adalah pekerjaan yang masuk akal, harus dihadapi, dan bahkan tidak dapat dihindari; jika dilakukan di awal abad kedua puluh, hal tersebut hampir mustahil. Aku tidak berduka atas masa tiga ratus tahun yang telah terlewati dengan segala kejadian atau peristiwa di dalamnya, kecuali atas satu hal: Quixote itu sendiri."

Meskipun menghadapi tiga rintangan, Quixote hasil kerja Menard lebih tajam daripada Cervantes. Yang terakhir disebutkan, dengan gaya yang kikuk, mengangkat persoalan sikap ksatria di sebuah provinsi mentereng di negaranya. Menard memilih Carmen pada masa-masa Lepanto dan Lope de Vega sebagai tempat "realitas" cerita terjadi. Sungguh sebuah seri espagnolades yang bahkan bisa dianjurkan kepada Maurice Barres atau Rodrﻲguez Larreta (6). Menard menghindari masalah dengan bakat alamiahnya. Di dalam karyanya tidak ada kemunculan gipsi atau para penakluk (conquistadores) atau hal-hal mistis atau Philip II atau autos da fe (7). Ia menolak atau menghilangkan warna lokal. Hal yang remeh ini mengacu kepada konsep baru novel historis. Hal itu juga seakan-akan mengritik Salammbo(8) tanpa memberikan kesempatan untuk menyangkal kritik tersebut.

Sudah sepantasnya juga bab-bab yang terpisah dibahas. Contohnya, di awal bab XXXVIII, "bagaimana cara perjuangan yang digunakan oleh Don Quixote, lewat senjata atau huruf?" Telah diketahui bahwa Don Quixote (seperti hanya Quevedo dalam La Hora de Todos) lebih memilih untuk mengangkat senjata. Cervantes adalah mantan tentara, jadi motifnya dapat dipahami. Akan tetapi, Don Quixote-nya Pierre Menard-sebuah versi modern dari La Trahison des Clercs dan Bertrand Russel— tidak akan menjadi mangsa kesesatan seperti itu! Madame Bachelier dapat dianggap sebagai idola yang secara tidak sadar menginspirasi Menard, sehingga menjadi bagian dari psikologi tokoh Don Quixote selain (tidak akan saya sebutkan semuanya) sebuah transkripsi Quixote, Baroness de Bacourt, dan Nietzsche. Interpretasi yang ketiga (aku tidak yakin akan menambahkan yang keempat) adalah: walaupun sesuai dengan kapasitas kedewaan Pierre Menard, ia mencampakkan kebiasaan ironis dalam menyebarkan ide-ide yang merupakan kebalikan dari apa yang ia pilih (mari ingat kembali kecamannya terhadap Paul Valery dalam lembaran-lembaran surealis Jacques Reboul). Teks Cervantes dan Menard sebenarnya identik, tetapi yang terakhir lebih kaya. (Lebih ambigu, penentangnya akan berkata, tetapi, ambiguitas adalah bentuk kekayaan tersendiri)

Sudah sepantasnya untuk membandingkan Don Quixote Menard dengan Don Quixote Cervantes. Yang terakhir disebutkan, ia menulis (bagian pertama, bab kesembilan):

"...Kebenaran. Sejarah adalah ibunya. Waktu adalah rivalnya. Ialah tempat menyimpan amal. Ialah saksi masa lalu. Ialah contoh dan penasihat bagi masa kini. Dan ialah konselor masa depan."

Ditulis di awal abad ketujuh belas oleh yang dikatakan sebagai "si jenius" Cervantes, kalimat-kalimat itu hanyalah sebuah retorika historis. Sedangkan, Menard menulis:

"...Kebenaran. Sejarah adalah ibunya. Waktu adalah rivalnya. Ialah tempat menyimpan amal. Ialah saksi masa lalu. Ialah contoh dan penasihat bagi masa kini. Dan ialah konselor masa depan."

Sejarah sebagai ibu kebenaran: idenya sangat cemerlang! Menard, seorang William James masa kini, tidak menganggap bahwa sejarah adalah sebuah akibat dari realitas, melainkan sebab darinya. Kebenaran historis, baginya, adalah bukan apa yang telah terjadi; tetapi apa yang kita putuskan untuk yang seharusnya terjadi. Kalimat-kalimat terakhir (Ialah contoh dan penasihat bagi masa kini. Dan ialah konselor masa depan.) sungguh suatu keberanian pragmatik.

Perbedaan gaya yang kontras jelas terlihat. Gaya khas Menard—yang bukan merupakan orang Spanyol— tidak tampak karena tenggelam dalam kepura-puraan. Sedangkan, tidak bagi pihak lain yang dengan mudah menggunakan bahasa Spanyol pada masa hidupnnya.

Tidak ada pekerjaan cendekia yang (disimpulkan pada akhirnya) bukannya tidak berguna. Sebuah doktrin filosofis mencoba menilik kemungkinan mengenai mendeskripsikan alam semesta; dan seiring berlalunya waktu, doktrin itu hanya menjadi sebuah bab (jika bukan hanya sebuah paragraf atau istilah) dalam sejarah filsafat. Di dalam dunia sastra, keadaan seperti itu juga terlihat. Suatu ketika Menard menjelaskan kepada saya, bahwa Quixote, di atas segalanya, merupakan buku yang amat menarik; dan sekarang buku itu hanyalah semacam perayaan patriotis, kesombongan gramatikal, dan kecabulan yang dibikin secara de luxe. Popularitas buku ini tidak dapat dimengerti, mungkin salah satu hal yang paling dapat dimengerti.

Tidak ada yang baru dalam penilaian nihilistik semacam ini; yang utama adalah bagaimana Menard mendeterminasikan sesuatu dari hal tersebut. Dia memutuskan untuk menghadapi kesombongan yang mengiringi setiap hasil kerja manusia. Ia menyiapkan dirinya untuk mengerjakan sesuatu yang luar biasa dan, sudah sejak awal, sia-sia. Ia memupuk tekad dan melalui malam-malam tanpa tidurnya untuk mengulang sebuah buku yang sebelumnya sudah"hadir" dalam bahasa asing. Ia menumpuk karangan demi karangan, menyuntingnya dengan gigih, dan sudah tak terhitung lagi banyaknya karangan yang ia sobek dan berakhir di keranjang sampah***. Ia tidak membiarkan siapapun melihat catatan-catatannya dan tidak ada catatan yang selamat darinya. Sungguh suatu pekerjaan yang mahaberat ketika saya harus merekonstruksi catatan-catatan tersebut.

Saya telah merenungkan baik-tidaknya memandang Quixote kontemporer ini sebagai naskah yang seharusnya mengandung jejak tulisan Menard "yang sebelumnya" dengan jelas. Sayangnya, hanya Pierre Menard lain yang dapat mengembalikan karya-karya Pierre Menard dan, ibaratnya, membangun kembali Troya yang telah hancur.

"Berpikir, menelaah, menciptakan (ia juga menulis hal ini kepada saya) bukanlah kegiatan yang ganjil. Tiga hal itu merupakan nafas seorang cendekia. Mengagung-agungkan kegunaan yang sebenarnya biasa saja, menimbun pikiran-pikiran asing dan kuno, dan mengingat-ingat pemikiran doctor universalis yang memabukkan merupakan pengakuan bagi kemalasan dan kebiadaban kita. Setiap manusia harus punya kecakapan ideal dan aku yakin bahwa hal tersebut juga penting bagi masa depan."

Menard (mungkin secara tak sengaja) telah memperkaya, dalam konteks menciptakan tehnik baru, seni membaca secara fana dan tertegun-tegun. Tehnik baru tersebut berbentuk anakronisme dan kekeliruan yang memang disengaja. Tehnik tersebut, yang pelaksanaannya tidak terbatas, dapat memungkinkan kita secara tepat menyelami karya Odyssey seakan-akan kitalah Aeneid selanjutnya, atau Le Jardin du Centaure karya Madame Henri Bachelier seakan-akan Madame Bachelier sendiri yang menyelaminya. Tehnik ini dapat mengisi dengan berani pemaknaan atas karya-karya yang agung. Sebutkanlah Imitatio Christi, hingga karya-karya Louis Ferdinand Celine atau James Joyce, bukankah hal tersebut merupakan pembaharuan yang pantas bagi spiritualitas yang rapuh dalam pembacaan karya-karya tersebut?




*) Madame Henri Bachelier juga memuat dalam daftarnya terjemahan harfiah atas terjemahan harfiah Quevedo atas Introduction a la Vie Devote karya St.Francis dari Sales. Tidak ada jejak karya tersebut dalam perpustakaan Menard. Karya itu mungkin hanya sebuah olok-olok yang disalahartikan oleh wanita tersebut.

**) juga bermaksud untuk menggambar sketsa atas potret pribadi Pierre Menard. Tetapi, bagaimanakah saya bisa bersaing dengan halaman-halaman emas yang, katanya, sedang disiapkan oleh Baroness de Bacourt, atau dengan goresan pensil rapuh nan kokoh dari Carolus Hourcade?

***) saya ingat bentuk buku catatannya, dengan halaman-halaman yang penuh coretan, simbol-simbol tipografinya yang khas, dan berisi tulisan tangannya yang seperti kumpulan serangga. Di sore hari, dia biasanya berjalan-jalan di sekitar Nimes sambil membawa catatannya dan membuat "kembang api" dari catatannya tersebut.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Catatan kaki di atas merupakan catatan asli teks, sedangkan catatan-catatan di bawah ini merupakan catatan penerjemah

1. vendredis secara harfiah berarti 'jumat-jumat'
2. Achilles dan Kura-Kura adalah sebuah dialog singkat karya Lewis Caroll, berjudul asli "What the Tortoise Said to Achilles" yang dimuat dalam majalah Mind  n.s. 4, 1895, hlm. 278-80. Dialog tersebut menggambarkan permainan logika yang memunculkan sebuah paradoks. Paradoks Achilles dan Kura-kura mirip dengan paradoks yang dikemukakan oleh Zeno dari Elea untuk mendukung doktrin Parmenides.
3. 'tidak ada yang perlu ditakutkan, tuan, itu cuma kura-kura' (terima kasih kepada Tita Nugroho untuk bantuan terjemahannya)
4. Aleksandrin adalah baris puisi yang terdiri dari dua belas suku kata, umumnya terdapat dalam kesusastraan Jerman pada zaman Barok dan Perancis pada awal zaman modern.
5. maksudnya, Don Quixote dan Pancho Stanza, tokoh-tokoh protagonis dalam Don Quixote.
6. Maurice Barres (1862-1923) adalah seorang jurnalis dan novelis berkebangsaan Perancis. Ia juga merupakan politisi sayap kiri.
Enrique Rodriguez Larreta (1875-1961) adalah seorang penulis Argentina yang mengarang La Gloria de don Ramiro.
7. Pengumuman publik mengenai putusan sidang Inkuisisi.
8. Salammbo adalah karya Gustave Flaubert yang terbit tahun 1862.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
**** Dikarang oleh Jose Luis Borges. Jorge Francisco Isidoro Luis Borges Acevedo (1899-1986) adalah salah satu penulis Amerika Selatan paling mashyur. Karya-karyanya kebanyakan berbentuk puisi dan cerpen. Kebanyakan prosanya bercerita mengenai labirin, mimpi, fantasi, karya atau penulis fiktif, Tuhan, dan religi. Mungkin dapat dimasukkan ke dalam jajaran penulis-penulis yang sudah sepantasnya meraih Nobel, namun kenyataannya tidak, seperti halnya James Joyce, Franz Kafka, atau Graham Greene. "Pierre Menard, Sang Pengarang Quixote" diterjemahkan Aldi Aditya dari "Pierre Menard, Author of the Quixote" terjemahan James E. Irby tahun 1962 atas "Pierre Menard, autor del Quijote".

komik ehem-ehem di lemari saya

Kalo lo masih kecil atau nggak tahu idiom atau istilah atau bunga bahas atau konotasi, gw langsung kasih tau aja yah kalo komik ehem-ehem tuh komik bokep.

Jadi, nggak usah tutup laman ini atau kabur sambil istigfar, soalnya, tenang aja, post yang ini dijamin nggak sampe 18++. Yang gw lakukan cuma sharing, berbagi, dan sekaligus mengintip-intip lemari gw yang isinya manga, teman setia gw selama hampir dua puluh tahun.

Pertama-tama, di pojok kanan atas, oh, itu ada Detective Conan alias komik yang mengundang pertanyaan "kapan sih tamatnya". Nggak bokep sih, paling ada fan servisnya dikit, tapi, yah, gitu doang. Cuma gambar satu panel Ran mandi sama Conan Edogawa. Selebihnya banyakan darah-darah atau mayit-mayit kasus pembunuhan.


Selanjutnya, ada sekitar dua puluh jilid Naruto. Kalau yang ini sih fan servisnya ada di jurus Oiroke no Jutsu dan ninja Tsunade si pemimpin desa. Walaupun bahenol, si Tsunade umurnya udah lima puluh, udah tante-tante gitu.

Jadi yang mana dong yang bokep beneran? sabaar-sabaar, innallaha ma'ashobiriin 'Sesungguhnya Gusti Alloh selalu bersama orang yang sabar'. Udah siap?

Sewaktu dilihat-lihat, ternyata ada beberapa koleksi City Hunter. Oh ini dia si komik legendaris itu! Dulu komik ini digemari oleh kalangan remaja smp-sma. Kenapa? Karena banyak panel cewek cakep buka baju atawa telanjang (tapi tenang aja, disensor sama penerbitnya kok - tapi, ya, makin disensor makin sip). FYI, City Hunter ternyata nggak cuma unggul di dalam "menerbitkan fantasi remaja", namun emang komik ini bagus banget. Gambarnya bagus, penokohannya oke, jokenya mantap, tapi yang paling unggul (dan cuma ada di terbitan di Indonesia) adalah penerjemahan Rajawali Grafiti yang sangat super sekali! Sumpah, terjemahan RG kreatif banget dan bikin ketawa gugulingan di lantai.

Ada banyak macam lagi sih di lemari gw itu, mulai dari komik-komik stensilan nggak jelas sampe Dragon Ball, cuma kayaknya gw nemu yang bokepnya bikin geleng-geleng kepala. Ternyata,,, (siap-siap) yang paling parah perbokepannya itu adalah,,,, DORAEMON sodara-sodara! Bener-bener shitfuck lah kalo udah ketemu formula nobita+pintu ke mana saja=kamar mandi Shizuka. Yang jadi objeknya itu, ya, Shizuka Minamoto kelas empat SD. Gw nggak ngerti lagi deh ama tujuan dan maksud pengarangnya. Ya silakan nilai sendiri lah... (PEDO PEDO PEDO)

Pernah punya pengalaman sama komik bokep? ya udah, lu simpen sendiri aja... nggak usah di share di sini yah :)))