Thursday, September 27, 2012

Kenapa gue nggak suka nonton film?

Pernah nonton film? Pasti pernah. Yang bagus, yang jelek, yang biasa-biasa (aja)? Setiap orang pasti punya daftar masing-masing mengenai film favorit. Film favorit belum tentu film yang bagus, terkadang film yang paling busuk pun ditonton untuk mencari hiburan atau bahan tertawaan (kalo kata tvtropes: so bad it's good, 'filmnya jelek buanget, saking jeleknya kita jadi pengen nonton'). Nah, banyak sekali nih tulisan-tulisan yang membahas film-film terburuk sepanjang masa. Yah, kalau sebangsanya Batman and Robin, Troll 2, The Room, atawa Max Payne jadinya nggak aneh sih, soalnya judul-judul itu sering disebut-sebut. Tapi, ada beberapa film yang memang jelek karena, ehm, satu dan lain hal. Mungkin filmnya nggak jelek, tapi, yah, gitu deh.

Eternal Sunshine of the Spotless Mind dan 500 Days of Summer adalah dua film yang jelek (padahal bagus). Kenapa? Tanya sendiri kenapa. Karena kebanyakan orang (laki-laki) yang nonton film ini jadi emo: "wah cuy, filmnya gw banget tuh", "andzing tuh Summer Finn, cewek ratu tega (terus nangis gogorowokan)", atau hanya menatap layar berlinang air mata (ya, gw nggak munafik juga sih, memang nonton dua film itu pernah bikin gw meratap sepanjang malam). Jadi ya, karena gw nggak suka anak emo, gw benci ama film ini karena pernah bikin gw jadi emo.

The Big Lebowski (1998), Edward Scissorhands (1990), The Cabinet of Doctor Cagliari (1920), semua film Akira Kurosawa, dan Quentin Tarantino adalah film-film yang gimana gitu. Pokoknya kalau lo udah nonton film ini, lo akan berasa beda banget dengan orang lain. Beda gimana? Ya ceritanya lo orangnya nggak mainstream gitu, hipster banget deh. Kadang-kadang kalangan hipster ini aneh, karena gaya hidup mereka yang segalanya mesti being ironic, film-film yang tadinya dianggap jelek malah dibilang bagus (misalnya The Room atau Troll 2). Gw nggak suka hipster, jadi gw bilang film-film semacam ini jelek karena pernah membuat diri gw jadi hipster (sadar ato nggak sadar).

Twilight Saga - All shitfucks from Stephanie Meyer (Ini mah udah jelas). Sosiolog terkemuka, Barney Stinson, pernah menyatakan bahwa 83% wajah laki-laki yang menemani ceweknya nonton Twilight Saga di bioskop menunjukkan raut yang asem dan penyesalan tingkat tinggi. Penyebabnya adalah perusakan masif yang dilakukan Meyer terhadap simbol machoism: vampir dibikin jadi lampu disko di siang bolong dan werewolf dibikin jadi mas-mas sixpack telanjang dada. Saya selalu berpendapat bahwa pakem vampir yang paling luhur ada dalam Dracula karya Bram Stoker, atau di film Nosferatu, atau peran yang dimainkan aktor Bela Lugosi. Bella yang ini? Plis deh. Dan lagi, histeria mbak-mbak penggemar Twilight juga sangat mengganggu.

The Dark Knight Returns. Film ini gw tonton di Gandaria City pada sebuah even yang diadakan suatu komunitas di pagi hari. Pas film kelar, keluar bioskop, eh, banyak banget yang ngantri sampai mengular ke luar XXI. Ya bego aja gitu, pengen liat yang lagi happening, orang sampe ngantri berjam-jam panjang banget. Ada teknologi yang namanya e-ticketing (buat yang masih belom tau) dan, ya, dipakailah itu seharusnya. Film ini jelek karena membuat orang-orang jadi pengen tau yang lagi happening dan rela melakukan tindakan bodoh seperti ngantri.

Yah, kalau dibilang, film yang sudah disebutkan dapat dikatakan jelek bukan karena konten filmnya, tapi lebih ke perilaku penikmatnya. Kadang-kadang, sesuatu yang bagus dapat terlihat jelek karena lingkungannya. Ini cuma pendapat sih. Everyone has an opinion. And yours are wrong.

No comments:

Post a Comment